[Review] The Isle of Blood by Rick Yancey
Kita adalah pemburu. Kita, kita semua, adalah monstrumolog.
Judul
asli: The Isle of Blood
Judul
terjemahan: Pulau Darah
Pengarang:
Rick
Yance
Penerjemah: Nadya Andwiani
Editor:
Bayu Anangga
Desain
sampul: Olvyanda Ariesta
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Terbit:
Februari, 2019
Tebal
buku: 592 halaman
Format:
Paperback
Genre:
Thriller
ISBN:
978-602-06-2127-2
Kutipan
di atas merupakan kalimat pembuka alinea terakhir dari folio kesepuluh jurnal
Will Henry. Kalimat tersebut membuatku teringat pada pelajaran Sejarah di
sekolah dulu mengenai manusia purba. Sebelum mengenal cocok tanam, insting
berburu lebih dulu ada dan merupakan modal untuk bertahan hidup. Konsep
“berburu” tersebut dikembangkan lebih jauh di novel ini yang membuatku sadar,
insting tersebut tidak menghilang, bertahan hingga di kehidupan manusia modern
seperti saat ini. Hanya saja objek dari perburuan itu yang kian melebar dan tak
terbatas. Makna itulah yang kutangkap dan lumayan meninggalkan bekas di benak.
The Isle of Blood merupakan buku ketiga dari seri The Monstrumologist. Buku ini yang
paling tebal dari yang lainnya (592 halaman). Di buku pertama, sosok monsternya
benar-benar berwujud monster seperti tinggi, buas, menyeramkan (monster yang
sangat mudah dipahami oleh siapa pun). Di buku kedua, sosok monsternya lebih ke
roh jahat atau pikiran manusia yang kacau (aku tidak terlalu paham, sih, hehe).
Di sini aku menemukan wujud monster baru yang dihadapi oleh monstrumolog. Sosok
dan permasalahannya hampir mirip dengan situasi dunia yang kita hadapi saat
ini: wabah.
Dr.
Pellinore Warthop menerima paket dari Dr. John Kearns. Paket tersebut menarik
Warthop jatuh ke dalam ambisi terbesarnya: menemukan Cawan Suci Monstrumologi.
Ia tidak mengajak Will Henry melainkan asisten barunya Arkwright, untuk memburu
monster tersebut. Will Henry ditinggalkan di New York dan untuk sesaat ia dapat
menikmati hidup normal layaknya anak berusia belasan tahun (memiliki keluarga
dan kesampatan untuk bersekolah). Ketika Arkwright kembali dan menyatakan kalau
Dr. Warthop telah tiada, Will tidak bisa mempercayainya. Apa yang Will Henry
lakukan selanjutnya sangat mengejutkan. Diantara semua monster yang ada,
menghadapi monster di dalam diri sendiri mungkin adalah yang tersulit. Monster
seperti apakah yang ada di dalam diri Will Henry sehingga mampu membuatnya
melakukan hal-hal demikian?
The Isle of Blood terasa menyegarkan setelah cukup
lelah membaca The Curse of the Wendigo.
Konfliknya dapat dipahami, sosok monsternya juga dapat dimengerti dan aku
lumayan terbiasa dengan metafora yang bertaburan di novel ini. Secara garis
besar, buku pertama merupakan salam perkenalan dari dunia monstrumologi dan
tokoh yang terlibat di dalamnya. Buku kedua membahas lebih banyak tentang
pribadi Dr. Warthrop. Lalu buku ketiga ini bisa dibilang lebih banyak bercerita
tentang diri Will Henry. Umurnya bertambah setahun dan karakternya mengalami
perkembangan.
Satu
hal yang membuatku lega, akhirnya terjawab siapakah sosok “aku” yang diminta
datang ke panti untuk membaca jurnal Will Henry sekaligus menyelidiki
kehidupannya. Sosok yang mengisi prolog dan epilog dari seri The Monstrumologist ini. Sama sekali aku
tidak menebak jika ia akan masuk sebagai karakter di kisah ini. Aku masih
menganggapnya sebagai karakter karena ini fiksi, kan? Hehe.
Satu
buku lagi untuk menyelesaikan seri ini. Buku tersebut berjudul The Final Descent. Aku belum tahu dan
tidak mau menebak. Entah mau dibawa ke arah mana kisah sang Monstrumolog dan
asistennya tersebut. Syukurlah, bukunya tampak lebih tipis. Aku sedang berusaha
membaca seluruh buku yang kubeli selama tinggal di kota ini. Aku harap bisa
selesai dibaca semuanya sebelum akhir Maret nanti. Selamat membaca buku buat
teman-teman semua.
Rating: (4/5) really liked it
The
Monstrumologist series
#3
The Isle of Blood
Comments
Post a Comment