[Review] The Curse of the Wendigo by Rick Yancey – Apakah Wendigo itu nyata?
“Terkadang
akal sehat menciptakan monster.” – Henri Poincare
Judul
asli: The CursAe of the Wendigo
Judul
terjemahan: Kutukan Wendigo
Seri: The Monstrumologist #2
Pengarang: Rick Yance
Pengarang: Rick Yance
Penerjemah: Nadya Andwiani
Editor:
Bayu Anangga
Desain
sampul: Olvyanda Ariesta
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Terbit:
Cetakan pertama, 2017
Tebal
buku: 480 halaman
Format:
Paperback
Genre:
Thriller
ISBN:
978-602-03-7779-7
The
Curse of the Wendigo merupakan buku lanjutan dari The Monstrumologist. Aku merasa
beruntung karena bisa mendapatkan kedua buku tersebut sebagai hadiah. Kedua
buku ini memiliki nuansa kaver yang sama. Masih berwarna hitam yang mungkin
merujuk kepada kekelaman kisah di dalamnya. Pun begitu juga dengan goresan
warna merah yang sudah dapat ditebak jika itu adalah warna darah. Dan aku
bersemangat sekali untuk membacanya. Selain karena penasaran,
tentunya untuk menghargai sang pemberi. Terimakasih kak Nana untuk hadiah
GA-nya. Sstt, kak Nana itu juga adalah penterjemah buku ini, lho.
Dr. Warthrop dan asisten kesayangannya
Will Henry berangkat menuju tempat yang bisa dikatakan ujung benua Amerika
(maaf, lupa namanya – kemungkinan Kanada). Mereka diminta oleh Mrs. Muriel
Chanler untuk mencari suaminya yang juga sahabat karib Dr. Warthrop yang
bernama John Chanler. John berusaha mencari bukti keberadaan Wendigo atau
makhluk pemangsa manusia yang hampir mirip dengan Homo Vampiris atau vampir. Di sisi lain, Dr. Warthrop sangat
menyangkal keberadaan Wendigo. Meski demikian, ia akhirnya tidak bisa menolak
permintaan Mrs. Muriel yang dulu rupanya pernah menjadi tunangannya.
Daratan yang mereka tuju dipenuhi salju
tebal. Seorang pemandu ditugaskan untuk mendampingi mereka mengunjungi kediaman
salah satu suku asli di sana. Kuat dugaan John berada di tempat atau areal
tersebut. Perjalanan mereka “ringan” dan menyenangkan hingga suatu ketika
mereka menemukan mayat yang tersula di sebuah pohon dengan kondisi mengenaskan
(dikuliti dan jantung yang separuh tergigit).
John lalu memang bisa ditemukan dan di
bawa pulang. Namun ia tidak sama seperti semula. Seolah kewarasannya hilang,
dan perlahan berubah menjadi monster menakutkan dan mengancam. Ia dipenuhi rasa
lapar yang tidak terpuaskan dan mulai memakan korban. Para monstumolog yang
saat itu sedang mengadakan pertemuan tahunan memutuskan untuk membuat tim untuk
menangkap John yang kabur dari pengawasan.
Buku
kedua seri Sang Monstrumologis ini mengeksplorasi batas antara mitos dan
kenyataan, cinta dan benci, genius dan gila.
Ya, mungkin kalimat di atas yang kuambil
dari blurb di belakang novel ini bisa menyimpulkan isi dari novel ini secara
umum. Wendigo yang menjadi topik “pembahasan” berulang kali digambarkan sebagai
mitos dan kenyataan di dalam fiksi ini. Hingga di akhir buku, aku masih
kebingungan untuk memutuskan apakah Wendigo ini memang termasuk monster seperti
anthropophagi di seri pertama (The Monstrumologist) atau memang
dianggap sebagai tahyul semata. Namun jika aku pikir lebih jauh, aku lebih setuju
dengan analisa Warthrop. John tidak berubah menjadi monster atau Wendigo. Ah,
meski demikian aku masih belum paham sepenuhnya apa yang menjadi penyebab John
bisa menjadi ganas seperti itu. Faktor psikologikah? #ihjadibolakbalik #okeskip
Ada apa dengan cinta dan benci?
Menurutku buku kedua ini lebih kaya. Ada banyak hal yang dieksplorasi oleh
penulisnya. Jika kubandingkan dengan seri pertama, The Monstrumologist lebih banyak membahas tentang monster,
perburuan monster, dan hubungan antara sang Monstrumolog dengan asistennya
serta perihal karakter mereka. Nah, pada seri keduanya ini, pembaca akan dibawa
untuk mengenal perkumpulan para ahli monster, dan berkenalan dengan
monstrumolog lainnya. Lalu ada sajian yang menyimpulkan bahwa Dr. Pellinore
Warthrop yang dikenal dengan karakter yang dingin, anti sosial dan rasional
ternyata memiliki rasa sayang yang dalam terhadap beberapa orang terdekat di
dalam hidupnya tersebut.
Aku bisa merasakan hati doktor yang
hangat tentang bagaimana dia menyayangi sahabatnya dan mantan tunangannnya. Pun
begitu dengan rasa sayangnya yang kuat terhadap Will Henry. Ah, ya, tidak
melulu mengenai Dr. Warthrop. Di sini ada sedikit kisah manis antara Will Henry
dan Lilly, keponakan perempuan Von Helrung. Karakter Lilly di sini seolah menjadi
simbol feminisme dengan keinginannya untuk mendobrak tradisi bahwa monstrumolog
itu hanya pekerjaan untuk para pria.
Dan, sepertinya tidak banyak yang bisa
kuceritakan mengenai poin “genius dan gila”. Mungkin bisa kita tangkap dari
karakter dan jalan cerita di novel ini, hehe. #gaje
Secara keseluruhan, menurutku buku ini
tidak sesadis buku sebelumnya. Ketika ada korban berjatuhan dan korban-korban
itu terlihat “berantakan”, aku tidak terlalu merasa bergidik. Ya, mungkin
karena fokus ceritanya tidak sepenuhnya tentang perburuan monster dan ada
hal-hal lainnya yang dibahas selain karakter sang Doktor dan asistennya
tersebut. Dan, itu juga mungkin karena pembunuhnya yang tidak sepenuhnya diyakini
sebagai monster terutama oleh si tokoh utama.
Meski demikian, aku menyukai
perkembangan karakternya. Seperti yang kutuliskan sebelumnya, ruang lingkup di
novel ini terasa luasnya dan perkumpulan para Monstrumologist itu memang harus segera diberikan porsi cerita.
Yap, tinggal menunggu buku ketiganya yaitu The
Isle of Blood. Mari kita ikuti si Doktor dan asisten kesayangannya
tersebut. Dan mungkin identitas si Aku yang menemukan jurnal Will Henry bisa
terungkap namanya di buku ketiga tersebut. #pentingnyasebuahnama
#memangpentingkan #haha #abaikan
Rating:
(3/5) liked it
The Monstrumologist Series
----------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------
Yuhuu…akhirnya review ini selesai.
Membaca buku ini memakan waktu “setahun”. Dari Desember 2017 hingga Januari
2018 #haha #apasih. Nah, stelah sekian purnama, tidak ada kutipan manis dari
buku yang telah kubaca, kali ini muncul kembali. Ada sekitar delapan kutipan
yang kutemukan yang asik untuk dibagi karena maknanya membuatku terkesan
(menurutku). Mari langsung saja disimak, ya. Jika ada yang kamu sukai, silakan
komen, ya. Salam.
“Di
suatu tempat pasti ada seseorang yang mengenalnya sebelum dia datang ke sini.
Setiap manusia pasti memiliki seseorang.” (hal. 17)
“Aku
ini sebutir debu,” katanya. “Siapa yang akan mengingatku begitu aku tiada
nanti?” (hal. 35)
Ada
hal-hal yang terlalu mengerikan untuk diingat da nada hal-hal yang hampir
terlalu menakjubkan untuk dikenang. (hal. 40)
“Rasanya
sulit, Will Henry, sangat sulit, memikirkan hal-hal yang tidak kita pikirkan.”
(hal. 58)
Orang
paling sinis sekalipun mudah terpengaruh oleh kebohongannya sendiri. (hal. 77)
“Mengapa
kau berbohong, Will Henry? Apa kau pernah mendengar bahwa seseorang yang akan
berbohong tentang hal-hal kecil tidak akan sungkan berbohong soal hal besar?”
(hal. 105)
“Maksudku,
dengan memiliki otak besar ada harga yang harus kita bayar. Naluri kita sering
dipadamkan oleh nalar.” (hal. 112)
“Mengerikan!
Rasanya seperti mengunyah kaki kursi. Tapi hanya itu yang kita miliki. Dan kita
harus belajar untuk puas dengan yang kita miliki, tidak peduli seberapa hambar
atau getir rasanya.” (hal. 164)
Comments
Post a Comment