[Review] The Crossing of Ingo by Helen Dunmore – Meraih keseimbangan
Jika manusia bisa melakukan Penyebrangan Ingo, mungkin ada harapan untuk masa depan yang lebih baik, di mana semua orang berhenti berperang untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dan tidak lagi berusaha menghancurkan segala sesuatu yang berbeda. – Saldowr
Judul
asli: The Crossing of Ingo
Judul
terjemahan: Penyebrangan Ingo
Series:
Buku keempat dari tetralogi Ingo
Pengarang:
Helen
Dunmore
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Terbit:
Cetakan kedua - Desember, 2013
Tebal
buku: 376 halaman
Format:
Paperback
Genre:
Fantasy
ISBN:
978-979-22-6158-5
April sudah mau berakhir namun reading slump-ku sepertinya kambuh.
Sulit memulai membaca buku baru. Entah karena apa. The Crossing of Ingo ini saja sudah kumulai sejak akhir Maret dan
baru awal April bisa kuselesaikan. Lalu setelah itu, hening. Tidak ada lagi
buku yang kuselesaikan di April ini. Hmm, entahlah. Semoga dengan memulai
mencicil tunggakan review yang ada bisa membantuku mengatasi reading slump ini.
Baiklah, kembali mengingat awal mula
membawa pulang buku atau lebih tepatnya serial ini. Saat itu akhir tahun dan
pelataran parkir Gramedia penuh tumpukan buku diskon. Sulit sekali untuk
menghindarinya dan aku pun mulai kalap. Di malam itu aku membeli banyak buku
dan salah satunya adalah tetralogi Ingo. Lengkap, full series. Aku tidak tahu harga awal tetralogi yang terbit tahun
2013 yang kupegang ini. Yang jelas saat itu harga per bukunya hanya goceng a.k.a. lima ribu saja. Syukurlah
semua buku dalam tetralogi tersebut lengkap. Aku pun suka dengan jalinan
kisahnya saat membaca blurb-nya. So, why not? Aku pun membawa semuanya ke
kasir.
Sebagai penyuka kisah fantasi, dan kaver
unyu (terutama kaver buku pertamanya), aku berharap sedikit dengan tetralogi
ini. Tidak berharap banyak karena belum pernah mendengar apapun tentang Helen
Dunmore (mungkin karena referensi baca yang minim, hehe). Pun judulnya aneh
Ingo. Apa artinya coba? Ya, tampaknya aku cukup dibuat penasaran. Dan euforia
berhasil menemukan semua buku di tetralogi ini sepertinya lebih dominan
menguasaiku ketika awal perjumpaan, hihi.
Aku mulai membaca buku pertamanya bulan
Maret lalu. Ternyata aku bisa sangat
larut ke dalam kisahnya. Helen memberikan deskripsi tentang Ingo yang menarik.
Aku serasa ingin pergi ke sana, menjelajahi Ingo. Helen tidak hanya bercerita
tentang petualangan bertabur fantasi saja melainkan juga mengajak pembaca untuk
peduli dengan ekosistem laut, dengan hewan-hewan di dalamnya. Helen turut
memperkenalkan sebuah warisan sejarah (pahatan putri duyung Zennor) yang memang
ada di daratan Cornwall, Inggris sana. Kisah itulah yang mengilhami tetralogi
Ingo ini secara umum, termasuk buku penutupnya yaitu The Crossing of Ingo ini.
Kisah petualangan kakak beradik,
Sapphire dan Conor di Ingo kembali berlanjut. Sehabis banjir besar di St.
Pirans, keluarga Trewhella kembali ke Senara dimana sudah jelas sangat dekat
dengan teluk. Keinginan Sapphire untuk kembali ke Ingo sulit dikekang. Namun
kali ini mereka kembali karena undangan yang datang kepada mereka. Ingo
mengundang mereka untuk melakukan penyebrangan meskipun hanya kaum Mer
(putri/putra duyung) yang biasa melakukannya. Penyebrangan ini penting
mengingat kedamaian Ingo akan bermula dari sana. Pun dengan kedamaian antara
Ingo dan Udara di hati Sapphire dan sedikit di hati Connor.
“Kadang,
ada hal-hal yang jika tidak kaulakukan akan terus menghantuimu seumur hidup,
berbisik di telingamu,” kata Granny Carne (hal.51)
Namun ada Ervys, kaum Mer murni yang
menghasut banyak kaum Mer lainnya untuk memusuhi dan menyerang serta tentunya
menghalangi penyebrangan yang akan kakak beradik tersebut lakukan. Di buku
keempat inilah petualangan sebenarnya di lautan mereka alami. Termasuk perang
besar dan kehilangan yang harus sekali lagi Saphhire dan Connor rasakan untuk
ayahnya. Lalu ada juga proses pemilihan para penyebrang, kisah dengan
lumba-lumba, paus bahkan dengan beruang kutub. Penasaran? Silakan baca
langsung, ya. Tetralogi ini merupakan salah satu tempat pelarian terbaik dari
penat di dunia nyata (versiku, ya, hehe).
Kehidupanmu
dapat berubah dalam sekejap mata, seperti pada malam pertengahan musim panas
yang tenang dan indah. Kau kehilangan orang yang kaucintai saat kau mengira
semuanya aman di sisimu. (hal. 59)
Bisa disimpulkan jika di buku pertama
(Ingo), tokoh yang ditonjolkan adalah keluarga Trewhella dan Granny Carne serta
manusia duyung (Faro dan Elvira). Berlanjut ke buku kedua (The Tide Knot) Helen
memperkenalkan Saldowr--Mer yang bijaksana dan kuat. Pada buku ketiga (The Deep) Hellen memperkenalkan Paus sahabat Sapphire sekaligus sedikit tentang Kraken
dan Ervys. Nah, di buku keempat ini, menurutku Evyrs lebih menonjol pun dengan
karakteristik kaum Mer secara keseluruhan. Tokoh utama tentu masih sama, namun
tokoh pendukung atau pendatang baru di setiap seri yang lebih menonjol dan
sepertinya menjadi ciri khas/pembeda dari setiap buku dalam tetralogi ini.
Adapun alur cerita The Crossing of Ingo bergerak maju. Tidak ada kilas balik yang
berarti. Legenda tentang putri duyung Zennor hanya dijadikan latar cerita
sehingga buku ini tidaklah bergenre historical
fiction. Aku pun sudah menduga jika di seri penutup ini akan ada perang
besar sebagai titik awal perdamaian. Namun perang yang terjadi tidak sesuai
yang kuharapkan. Deskripsinya tidak meyakinkan dan terkesan lambat karena
menurutku jika menggambarkan perang harus lebih daripada itu.
Terlepas dari hal tersebut, buku ini
memang mengajak kita untuk mencintai dan menjaga lautan. Ada sisipan cerita
perih lumba-lumba yang terkena jala lalu tenggelam. Atau cerita Paus yang
begitu waspada terhadap manusia. Juga tentang Beruang Kutub dan Anjing Laut
yang kelaparan serta es-es di kutub yang mencair. Perubahan lingkungan dan
campur tangan manusia yang tidak pada tempatnya telah membuat keberlangsungan
hidup mereka terancam. Padahal di satu sisi, Ingo (dan lautan luas) itu sangat
indah dan sebenarnya berpengaruh pada kehidupan manusia. Mungkin itulah manfaat
kita membaca buku ini, agar kepedulian kita, khususnya terhadap lautan
bertambah melalui pendekatan yang berbeda.
Ya, ini adalah karangan Helen Dunmore
pertama yang berhasil kuselesaikan. Aku masih berharap bisa membaca karyanya
yang lain. Aku penasaran, apakah karyanya selalu berbau lingkungan, hehe. Jika
bisa bertemu langsung dengannya, aku mau minta tanda tangan dan berkata jika
aku menyukai deskrispinya tentang Ingo. Sebenarnya aku ingin tahu juga darimana
dia merangkai kosakata bahasa kaum Mer serta darimana dia dapat menyebut tempat
itu Ingo.
Overall,
ini masih buku yang menarik bagiku meski ada beberapa hal yang kurang greget
atau kurang sesuai dengan harapan. Mungkin terkadang kita hanya perlu menikmati
tanpa memasang harapan apapun sebelumnya. Kisah ini aman jika dibaca anak-anak
di bawah umur. Adegan perangnya pun tidak terlalu menegangkan, menurutku, sih,
hehe. Dan meski ini tentang manusia duyung, tidak ada yang menyerempet ke
cinta-cintaan dan seterusnya. Malahan keindahan lautan lah yang lebih
ditonjolkan, atau diperkenalkan melalui kisah ini. Sekali lagi, Ingo merupakan
tempat pelarian yang oke. Cobalah. :D
Submitted to:
Comments
Post a Comment