[Review] The Tide Knot by Helen Dunmore – Sapphire dan Conor kembali lagi ke Ingo
“Jadilah berani. Situasinya akan lebih mudah kalau kau berani. Ini hanya permulaan.” – Saldowr
Judul
asli: The Tide Knot
Judul
terjemahan: Simpul Ombak
Series:
Buku kedua dari tetralogi Ingo
Pengarang:
Helen
Dunmore
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Terbit:
Cetakan ketiga - Desember, 2013
Tebal
buku: 320 halaman
Format:
Paperback
Genre:
Fantasy
ISBN:
978-979-22-4883-8
Apa yang terlintas di kepalamu ketika
mendengar atau membaca kata “Putri Duyung”? Mungkin di sebagian besar benak
kita akan tergambar sosok makhluk mitos yang hidup di dalam air, di dalam
lautan. Makhluk tersebut memiliki rupa separuh manusia dan separuh ikan. Aku
tidak tahu dengan tempat lain atau apa yang orang lain pikirkan, namun
menurutku kata Putri Duyung jauh lebih populer daripada manusia duyung. Padahal
tidak semua makhluk tersebut perempuan. Ada juga Putra Duyung, haha. Tapi jadi
janggal, ya. Yang jelas di dalam buku ini mereka disebut dengan kaum Mer
(mungkin kependekan dari Mermaid).
The Tide Knot adalah buku kedua dalam
tetralogi Ingo. Ini kisah yang diangkat dari cerita rakyat atau legenda asal
usul pahatan putri duyung di salah satu gereja di daerah Senara, Cornwall,
Inggris. Jika sebagian besar kisah manusia duyung bersifat romantisme, tetralogi
ini agak berbeda. Tokoh utamanya berusia belasan tahun, beranjak menuju remaja.
Mereka adalah kakak beradik dan bersahabat dengan dua orang kaum Mer. Rasanya
sulit jika langsung melompat ke buku kedua tanpa membaca buku pertamanya (yang
berjudul Ingo) meskipun ada sedikit
kilas balik di halaman pertama dan kedua The Tide Knot. Rasanya penjelasan
tersebut kurang memuaskan jika baru berkenalan dengan Ingo dari sini, hehe.
Di buku kedua ini Sapphire dan Conor
kembali ke Ingo meski mereka tidak lagi tinggal di Senara yang merupakan
gerbang masuk Ingo. Kakak beradik tersebut telah pindah ke St. Pirans karena
ibunya sudah mulai melanjutkan hidup pasca kepergian ayah Sapphire. Di St.
Pirans mereka mampu menyewa rumah yang lumayan dan ada Roger yang siap sedia
membantu keluarga tersebut. Sementara itu rumah mereka di Senara disewakan
sehingga uangnya mampu membantu mereka mencukupi kebutuhan hidup di St. Pirans.
Faro mengajak Sapphire dan Conor bertemu
dengan gurunya yang sangat dia banggakan yaitu Saldowr. Bisa dikatakan jika
Saldowr adalah salah satu kaum Mer murni yang kuat dan bijaksana. Jika di Udara
ada Granny Carne yang penuh kekuatan magis, di lautan ada Saldowr. Mereka
berdua memiliki sifat yang hampir sama seperti mampu menembus waktu baik masa
lalu maupun masa depan. Saldowr merupakan penjaga Simpul Ombak. Dan simpul
inilah yang menjadi masalah. Ingo sedang gelisah. Apa yang terjadi ketika
Simpul Ombak terlepas? Bagaimana menjinakan hiu-hiu yang menjaga hutan Aleph
tempat Saldowr tinggal? Dan benarkah yang Sapphire dan Conor lihat di cermin
itu adalah ayah mereka? Sekali lagi Ingo memanggil mereka meskipun mereka harus
berusaha masuk dari St. Pirans.
Haha, entahlah, aku selalu ingin tertawa
ketika melihat ilustrasi kaver The Tide Knot yang kupunya ini. Gambarnya adalah
kaum Mer yang sedang berenang dan tersenyum serta dari jauh tampak kumisan
(padahal tidak). Kavernya ini masih dihiasi warna biru terang dan ada
gerombolan ikan yang berenang. Mungkin karena terlalu aneh dengan penampakan
putra duyung, oleh karenanya sebutan putri duyunglah yang jauh lebih dikenal,
hehe.
Meski demikian aku masih suka deskripsi
Helen tentang Ingo. Juga tentang Faro (yang notabene putra duyung, haha, kaum
Mer). Pembaca diajak mengenal Ingo lebih dekat. Jika di buku pertamanya ada
gerombolan anjing laut penjaga Limina, di buku kedua ini ada deskripsi tentang
lumba-lumba serta hiu dan sifat-sifat mereka. Hiu di The Tide Knot ini
digambarkan bagai tentara, prajurit, yang begitu setia dengan tugasnya. Biarpun
mereka dinilai sebagai hewan pembunuh, namun mereka adalah hewan yang harus
dilindungi. Bagaimanapun manusia lebih banyak membunuh hiu, kan, daripada hiu
yang membunuh manusia (tanpa perencanaan pula), hehe.
Ya, pesan yang ingin Helen sampaikan
masih sama. Menurutku, ia mengajak kita untuk lebih peduli dengan lautan. Dan
mungkin kepedulian itu bisa muncul jika kita mengenal lautan tersebut.
Tetralogi Ingo bisa menjadi alternatif untuk anak-anak yang sudah bisa membaca
dengan lancar dan suka membaca (tentunya) untuk mengenal laut. Di The Tide Knot
juga ada peristiwa gelombang Tsunami. Tidak dibilang Tsunami, sih, hanya saja
aku menyimpulkannya demikian dilihat dari tanda-tandanya. Kita diajak merasakan
apa akibat dari Tsunami tersebut.
Lebih jauh, gambaran tentang Tsunami
mungkin tidak terlalu greget, namun tidak dengan lumba-lumba yang terdampar.
Bahkan aku saja yang sudah seumur ini baru memahami mengapa lumba-lumba atau
hewan laut seperti paus yang terdampar memerlukan penanganan khusus. Ya, tidak
boleh sembarangan. Mereka menderita meski bukan termasuk golongan ikan dan bisa
bernapas di udara. Juga tentang alasan mengapa mereka yang terdampar tidak bisa
menyeret tubuh mereka sendiri ke laut dan akhirnya mati. The Tide Knot
menggugah rasa kepedulian di diri kita, setidaknya itu terjadi kepadaku.
Baiklah, singkatnya aku masih menikmati
kisah Sapphire dan Conor serta teman kaum Mer mereka. Aku menikmati Ingo dan
masih ingin bermain ke sana jika saja itu bukan fiksi. Kisahnya sederhana namun
ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil. Seri ini membuka pemahaman kita
tentang lautan dan menyajikan cara pandang berbeda tentang kisah putri duyung
atau Mermaid atau apapun sebutannya. Silakan baca langsung, ya.
Submitted
to:
----------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------
Well, seperti biasa bagian ini khusu
dibuat untuk mendaftar quotes menarik yang kutemukan di buku ini. Rasanya
sayang sekali jika tidak dibagikan atau paling tidak didokumentasi sebagai
bagian dari kenangan #apasih haha. Intinya bagian ini akan muncul jika quotes
tersebut kurang dari sepeuluh. Jadi, tidak usah berlama-lama. Mari langsung
kita nikmati bersama. :D
“Nak
kau sudah cukup besar untuk memahami bahwa tidak ada peristiwa yang menimpa
kita begitu saja. Ada bagian dari diri
kita yang menyerah pada peristiwa itu. kita membiarkannya terjadi, sekalipun
orang-orang yang kita kasihi mengira kita berusaha melawan.” (hal. 70)
Kalau
kau yakin, kadang hal yang kauyakini akan terwujud. (hal. 167)
“Jadilah
berani. Situasinya akan lebih mudah kalau kau berani. Ini hanya permulaan.”
(hal. 218)
Kadang
kau mengetahui lebih banyak daripada yang kau kira. Teka teki ini menjadi
jelas. (hal. 239)
Kita
pasti bisa menata hidup kita lagi, adik kecil. (hal. 310)
Comments
Post a Comment