Review Novel Hard Evidence (Bukti Kuat) karya Pamela Clare

“Semuanya terasa tidak nyata–seolah-olah aku menjalani kehidupan orang lain.” - Tessa Novak


Judul: Hard Evidence
Judul terjemahan: Bukti Kuat
Seri: I-Team #2
Pengarang: Pamela Clare
Alih bahasa: Anggraini Novitasari
Desain sampul: Eduard Iwan Mangopang
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Cetakan pertama, 2015
Tebal buku: 472 halaman
Format: Paperback
Genre: Thriller, Crime
ISBN: 978-602-03-2385-5

Mengawali tahun dengan membuat daftar timbunan yang akan dibaca tahun ini (ada 22 judul). Berdasarkan daftar tersebut, pilihan pertamaku secara acak jatuh pada sebuah fiksi bertema kriminal berjudul Hard Evidence (Bukti Kuat) karangan Pamela Clare. Novel ini telah berada di timbunan selama dua tahun lebih sebelum mood untuk membacanya muncul juga.

Hard Evidence merupakan bagian dari serial I-Team. Serial ini menjadikan para perempuan yang tergabung ke dalam tim reportase investigasi surat kabar kriminal Denver Independent sebagai tokoh utama.

Bicara sedikit tentang serial I-Team, buku pertamanya berjudul Extreme Exposure. Aku intip melalui Goodreads, buku tersebut mengangkat kisah keterlibatan reporter Kara McMillan menangani sebuah kasus yang melibatkan skandal politik.

Di sisi lain, Hard Evidence sebagai buku kedua membahas sepak terjang Tessa Novak (yang juga merupakan sahabat Kara) dalam mengungkap kasus perdagangan manusia sekaligus secara tidak sengaja menjadi saksi mata dari peristiwa pembunuhan yang masih terkait dengan kasus tersebut.

Tessa si Pecandu kopi menemukan dirinya menjadi saksi penembakan terhadap gadis belasan tahun. Gadis tersebut meminta tolong namun penembakan tersebut terjadi dengan cepat di depan matanya. Hal ini membuat Tessa menjadi salah satu saksi utama.

Ketakutan terhadap peristiwa tersebut serta perasaan menyesal sebab tidak mampu menolong gadis tadi membuatnya sempat merasa down. Namun Tessa segera bangkit dengan niat mengusut tuntas kasus ini dari sisi jurnalisme investigasi. Tessa meluncurkan artikel pertama terkait penembakan yang membuatnya semakin diincar oleh si Pembunuh.

Di sisi lain, Julian Darcangelo masuk ke kehidupan Tessa. Dia anggota FBI yang menyamar dan tengah bertugas menangkap dalang alias bos besar terkait penembakan tersebut. Julian telah menangani kasus ini selama bertahun-tahun dan meminta Tessa untuk segera menghentikan investigasi jurnalismenya sebab dikhawatirkan penyamaran Julian bisa terbongkar sehingga sia-sia lah usahanya selama ini.

Mungkin pembaca Bukulova bisa menebak kalau mereka berdua akhirnya bekerja sama untuk menuntaskan kasus ini. Dan ya, ada laki-laki dan ada perempuan, mereka saling tertarik satu sama lain. Namun hal tersebut tidak berjalan dengan mudah sebab masing-masing juga mempunyai konflik dengan diri sendiri yang belum tuntas.

Rasa-rasanya ini kali pertama membaca fiksi kriminal yang berkaitan dengan kasus perdagangan manusia. Para gadis yang diculik dan disekap lalu dirusak oleh sebuah sindikat yang menjebak mereka dalam bisnis eksploitasi seksual digambarkan dengan lumayan baik.

Menyelami kasus ini melalui Hard Evidence menyentuh nurani dan membuat geram sekaligus merasa ketakutan sendiri sebab hal tersebut terjadi di dunia nyata. Kasus perdagangan manusia ini sama buruknya dengan serial killer psikopat yang membunuh dengan sadis. Meresahkan dan membuat mual.

Sebagaimana fiksi yang bermuatan kriminal, hal pertama yang kuharapkan tentu cerita tentang kasus yang diangkat lalu cara penyelesaian kasus tersebut. Ternyata selain mengungkap kejahatan, ada dua poin lain yang tampaknya cukup dominan juga dibahas di buku ini.

Poin pertama berkaitan dengan kisah masa lalu sang reporter sendiri. Konflik antara Tessa dan dirinya ikut tampil mengiringi pengungkapan kasus utama. Bagaimana Tessa berjuang di masa lalu agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa depan, lalu tentang hubungan antara Tessa dan ibunya hingga ketidaknyamanan Tessa menjalani hubungan romantis ikut dibahas dan diberi penyelesaian.

Begitu pula halnya dengan tokoh Julian. Selain melihat sepak terjangnya di dunia FBI menuntaskan kasus perdagangan manusia ini, konflik internal dirinya juga turut dibahas dan diselesaikan. Ya, meskipun gambarannya tidak diberikan sebanyak Tessa dan sisi charming-nya lumayan dominan diperlihatkan, hehe. Setidaknya penulis mencoba menggali karakternya sedemikian rupa.

Menurutku poin ini menjadi menarik, sih. Biasanya novel dengan genre seperti ini akan lebih banyak berfokus kepada si Penjahat atau antagonis. Kepribadian dan kejiwaan tokoh utama tidak akan dibahas terlalu dalam atau setidaknya tidak dijadikan sebagai konflik tambahan.

Syukurlah di akhir buku kita tidak hanya mendapati bagaimana kasus kejahatan tersebut diselesaikan, melainkan juga bagaimana Tessa dan Julian menyelesaikan masalah dengan dirinya sendiri.

Masih ada poin lainnya. Novel setebal 472 halaman ini ternyata bisa juga dipadati dengan “sesuatu”. Adakah pembaca Bukulova yang bisa menebak?

Ya, ini tentang adegan percintaan alias unsur romantisme yang lumayan kuat dan intens; tertera di banyak halaman (lebih dari 40 halaman kalau aku tidak salah hitung).

Oleh sebab itu tidak mengherankan jika label “Novel Dewasa” tertera di sampul buku ini. Aku kira label tersebut berkaitan dengan alur cerita seperti adegan penembakan, mafia sindikat kejam dsb. Ternyata termasuk juga deskripsi adegan dewasa yang membentang di halaman-halaman tersebut.

Lumayan intens sebab “deskripsi” yang banyak itu ada yang tidak tersebar melainkan menumpuk. Ini maksudnya penulis mau membuat lupa pembaca dengan tindak kriminal yang sedang dibahas atau bagaimana, hehe.

Aku sempat merasa bosan membaca bagian “kegiatan romantis” ini dan beberapa kali membaca cepat saja. Namun di sisi lain, ini boleh jadi salah satu daya tarik dan unsur khas dari serial I-Team.

Lebih lanjut, Tessa yang notabene merupakan seorang jurnalis membuatku teringat dengan Woman in Cabin 10. Sebuah buku yang mengangkat kisah pembunuhan juga dengan jurnalis sebagai tokoh utama.

Tidak bermaksud membandingkan kedua buku ini sebab mereka menulis topik yang berbeda serta alur ceritanya juga tidak sama. Hanya saja ada beberapa tingkah laku Tessa yang membuat geram.

“Namun seperti ini lah jurnalisme investigatif–menerangi sudut-sudut gelap agar orang-orang bersalah tidak memiliki tempat sembunyi.” - hlm.31

Tindakan yang diambilnya memang sesuai dengan sifat rasa ingin tahu yang kuat untuk mencari tahu siapa yang bertanggung jawab terhadap penembakan atas Maria Ruiz (dari sisi jurnalisme). Tindakan tersebut ada yang menjengkelkan, tidak memikirkan keselamatan diri sendiri. Ya, hal-hal semacam itu yang boleh jadi diperlukan agar novel ini terasa menggigit.

Secara keseluruhan, Hard Evidence menawarkan fiksi yang menarik. Biasanya buku bergenre seperti ini mengangkat kasus pembunuhan populer seperti kisah pembunuhan berantai. Kasus perdagangan manusia seperti ini menurutku jarang dibahas sehingga menawarkan sudut pandang baru. Ya, bisa jadi akunya saja sih yang masih minim bacaan dan ini kali pertama menikmati bahasan tindak kriminal seperti ini.

Selanjutnya, novel ini ternyata juga mengangkat konflik pribadi tokoh utama dengan dirinya sendiri. Konflik personal tersebut diiringi pula dengan kisah percintaan. Penulis tidak tanggung-tanggung dalam memberikan deskripsi adegan dewasa di novel ini. Di satu sisi Hard Evidence memang termasuk novel kriminal. Di sisi lainnya novel ini juga bersifat contemporary romance.

Aku merasa senang telah menuntaskan novel ini sebab telah menumpuk sekian tahun di lemari. Ini langkah yang bagus dan membuat semangat untuk menyelesaikan tbr lainnya. Ada bagian yang kusuka dan ada juga yang terasa biasa saja. Agak sulit bagiku menentukan ratingnya. Silahkan baca sendiri ya bagi yang tertarik dengan novel ini.

Rating: 3.5/5 (i liked it)
Kutipan menarik dari buku ini:

“Aku tidak tahu mengapa merasa seperti itu soal menangis. Kurasa bagiku menangis adalah tanda kelemahan.”
“Kami orang Navajo, percaya bahwa air mata wanita menyucikan. Kami menganggap air mata sebagai kekuatan, bukan kelemahan.” - hlm.40

“Andai aku lebih tangguh. Aku mengerahkan sekuat tenaga menghadapi semua ini, tapi di dalam hati, aku benar-benar takut.” - hlm. 181

Julian membiarkan kebencian yang ia rasakan menetes dari suaranya seperti racun. - hlm.190

Comments

  1. Bukunya menarik nih Mba! Kalo tanpa baca buku I Team yang pertama apakah akan bisa nyambung2 aja kah Mba? Kalo mau langsung baca yang ini aja?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayaknya bisa Tika. Soalnya tokoh utama dan kasusnya bakal beda2. Yang jadi benang merahnya para tokoh utama di setiap buku kerja di surat kabar yg sama. Satu kantor & profesi.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

7 Alasan Memilih dan Membeli Buku Bacaan

[Review] The Silmarillion by J.R.R Tolkien – Sebuah riwayat yang panjang

[Review] Cewek Paling Badung di Sekolah by Enid Blyton – Asal mula Elizabeth dikirim ke Whyteleafe