[Review] The Woman in Cabin 10 by Ruth Ware

“Saya mendengar ceburan—ceburan yang sangat keras.”—Lo Blacklock 


Judul: The Woman in Cabin 10
Pengarang: Ruth Ware
Penerjemah: Reni Indardini
Penyunting: Yuli Pritania
Penerbit: Noura Books
Terbit: Cetakan ke-2, Mei 2018
Tebal buku: 484 halaman
ISBN: 978-602-385-284-0

Ketika The Woman in Cabin 10 sampai ke tanganku, aku merasa begitu bersemangat. Aku masih ingat jeritan tertahan yang keluar dari mulutku saat membuka segelnya. Ya, aku menaruh ekspektasi yang cukup tinggi kepada buku ini. Pasalnya ini salah satu buku yang memang ingin kubaca sejak terbit dalam bahasa Indonesia kira-kira di 2017 lalu. Selain itu desain sampulnya cukup menggoda dan ditambah pula novel ini memiliki tema misteri (plus psychological thriller) yang mengundang rasa penasaran. Semangat untuk menuntaskannya semakin menjadi saat membaca beberapa testimoni yang tercetak di sampul depan dan belakang buku diantaranya sebagai berikut: 

“Kisah detektif modern yang luar biasa.” –New York Post 

“Tidak seorang pun lebih baik daripada Ruth Ware dalam menciptakan karya menakutkan tanpa perlu menyelipkan unsur supranatural. The Woman in Cabin 10 inilah buktinya.”—New York Journal of Books 

Semakin tertarik untuk membacanya bukan? Sayangnya, aku tidak dapat mempertahankan semangat itu hingga ke halaman terakhir. Butuh waktu lebih lama dari biasanya untuk menuntaskan buku ini karena seringkali muncul rasa enggan untuk kembali membaca setelah ada jeda. Malah beberapa kali aku sempat merasa tidak tahan. Rasanya ingin membaca cepat saja, melompati beberapa halaman sekaligus. Mengapa bisa demikian? Sebelum aku cerita tentang alasannya, mari kita lihat dulu alur cerita The Woman in Cabin 10

Fiksi ini berkisah tentang Laura Blacklock (yang dipanggil Lo). Dia seorang jurnalis majalah wisata Velocity yang menanti untuk naik karir lebih tinggi menggantikan atasannya Rowan. Sementara itu, Aurora adalah kapal pesiar mewah yang dimiliki oleh bangsawan Richard Bulmer dan istrinya yang kaya raya, Anne Bulmer. Richard mengundang pers dan beberapa kolega bisnisnya untuk mengikuti pelayaran perdana Aurora secara gratis. 

Velocity diundang dan seharusnya Rowan yang berangkat namun dia berhalangan karena sedang cuti hamil. Lo diminta menggantikannya. Insiden perampokan di flatnya dan serangan panik serta klaustrofobia yang dideritanya akibat insiden itu berikut kecanduannya terhadap alkohol tidak menyurutkan niat Lo untuk hadir dalam pelayaran tersebut. 

Lo menempati kabin No.09. Tengah malam (katakanlah demikian) terdengar suara ceburan. Gadis yang menempati kabin No.10 mendadak menghilang. Tidak ada yang mempercayai Lo termasuk kru karena kabin tersebut memang diketahui kosong sejak awal pelayaran. Namun Lo pernah bertemu dengan gadis itu bahkan meminjam maskaranya. Apakah Lo berhalusinasi? Atau memang benar telah terjadi pembunuhan? 

Lumayan panjang ternyata sinopsis cerita yang kubuat. Inti ceritanya begitulah. Jika novel ini dibagi dalam tiga bagian: pembuka, pertengahan, dan penutup, maka hanya 1/3 bagian saja yang kusuka yaitu bagian penutup. 

Setelah menikmati beberapa bab awal, aku merasa kesulitan untuk menyukai karakter tokoh utamanya serta kurang bisa memahami caranya bereaksi terhadap kemalangan yang menimpanya. Aku tidak mengerti mengapa dia bisa berkarir selama 10 tahun sebagai jurnalis namun kurang cekatan dalam menarik kesimpulan. 

Kucoba untuk berpikir jernih.—hlm.317 

Namun, aku semula memang tidak percaya bahwa seorang pun, sekaya apa pun, bisa memiliki pengaruh sebesar itu. sekarang, aku menyadari aku salah.—hlm.437 

Selain perihal karakter utama, rasa kurang nyaman juga muncul saat membaca deskripsi yang berulang tentang rasa panik dan klaustrofobia yang dideritanya serta aneka keluhannya. Setiap kali membaca bagian tersebut, membuatku merasa kisah di buku ini seperti diulur-ulur. Kesempatan untuk meraih karir cemerlang sebagai jurnalis majalah wisata sekaligus dapat berlayar gratis di sebuah kapal pesiar mewah sembari menjalin koneksi dengan penumpang lainnya digambarkan seadanya. Sebagian besar cerita berpusat pada perasaan dan perspektif Lo yang tidak stabil serta rasa pusingnya akibat kurang tidur dan terlalu banyak alkohol yang dikonsumsinya. Intinya, membaca 2/3 bagian buku ini terasa melelahkan. 

Aku tidak tahu bagaimana pembaca lain menyikapi buku ini. Bisa jadi memang this book is not my cup of tea. Maksudku, ulasan ini boleh jadi bersifat subjektif dan ini masalah selera saja. Bisa jadi karakter Lo memang dibuat demikian menyebalkan dan lebih lambat menyusun potongan teka tekinya agar pembaca duluan yang melakukannya. Terbukti buku ini mendapat banyak testimoni yang bernada positif (bisa ditemukan di halaman awal sekali, saat membuka sampulnya). Ya, mungkin seharusnya aku yang tidak menaruh harapan tinggi sehingga tidak perlu merasa kecewa, hehe. Jadi silakan baca, ya. Mana tahu ada sudut pandang lain yang lebih baik namun luput dari pandanganku. 

Secara keseluruhan, menurutku buku/novel ini memiliki alur yang agak lambat meski mengusung tema mistery and thriller. Karakter tokoh utamanya mungkin dibuat sedemikian rupa sehingga terasa agak menjengkelkan. Alur ceritanya menarik sebenarnya—kasus pembunuhan di sebuah kapal di atas laut dan segala intrik di dalamnya mirip-mirip cerita karangan Agatha Christie. Namun sayangnya aku belum bisa menikmati novel ini. Meski demikian ternyata aku bisa (dengan sedikit memaksa diri sendiri) menuntaskan buku ini tanpa meninggalkan satu halaman pun. Setidaknya rasa penasaranku akan buku ini telah terobati. 

Rating: 2.9/5 (it was okay) 
Kutipan menarik dari buku ini: 
“Kalau kita mencari nafkah dengan memakan segala hal menjijikkan, tidak ada salahnya kita menginginkan daging panggang yang enak saat libur.”—hlm.96 
Temanku Erin mengatakan kita semua ketempelan hantu, suara-suara yang berbisik bahwa kita payah, bahwa kalau kita tidak mendapatkan kenaikan jabatan atau melibas ujian, maka kita akan mengungkapkan kepada dunia betapa tidak bernilainya diri kita, betapa kita hanyalah tulang berbalut kulit belaka. Mungkin memang benar begitu. Mungkin suara-suara yang menghantuiku semta-mata lebih nyaring.—hlm.196

Comments

  1. Wah, aku juga udah beli buku ini dari 2 tahun lalu tapi sampe sekarang belum juga disentuh kecuali buka plastiknya ahaha.

    Setelah baca review ini kayaknya aku ga boleh berharap terlalu banyak ya sama buku ini karena aku juga gak suka nih buku yang slow pace gitu bisa kesel banget waktu baca dan malah ditinggalin hahaha

    btw, thanks reviewnya!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha, masih dalam antrian tbr list ya mba..
      Kesan yang tertinggal setelah kubaca kayak gitu sih mba. Tapi pendapat dan selera tiap orang beda-beda. Kapan nanti silakan dicoba mba, hehe..
      Sama-sama. Terimakasih sudah mampir. :))

      Delete
    2. Bukunya di preloved aja kak buat akuuu tapi jangan mahal mahal ya ehhehe

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

7 Alasan Memilih dan Membeli Buku Bacaan

[Review] The Silmarillion by J.R.R Tolkien – Sebuah riwayat yang panjang

[Review] Cewek Paling Badung di Sekolah by Enid Blyton – Asal mula Elizabeth dikirim ke Whyteleafe