[Review] Red Dragon by Thomas Harris – Buku pertama seri Hannibal Lecter
Tidak ada hantu di Shiloh. Manusialah yang dihantui. Shiloh sendiri tak peduli.
Judul
asli: Red Dragon
Judul
terjemahan: Naga Merah
Seri: Hannibal Lecter #1
Seri: Hannibal Lecter #1
Pengarang:
Thomas
Harris
Alih bahasa: B. Sendra Tanuwidjaya
Desain sampul: Eduard Iwan Mangopang
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Terbit:
Januari 1998
Tebal
buku: 519 halaman
Format:
Paperback
Genre:
Thriller, Crime
ISBN:
978-979-22-9145-2
Red
Dragon adalah salah satu buku yang menyenangkan hatiku
saat bisa membawanya ke kasir. Pasalnya aku telah berkeinginan untuk membaca
seri lengkap Hannibal Lecter ini. Seri ini aku mulai dengan membaca buku
keduanya yaitu The Silence of the Lambs.
Alur ceritanya cepat dan membuat merinding karena dilimpahi oleh adegan sadis
yang berani dan bikin jantung berdegub. Syukurlah, tidak masalah ternyata jika
membaca seri ini secara tidak berurutan. Sejauh ini aku bisa mengikuti kisahnya
tanpa kehilangan poin-poin yang penting yang tidak bisa terlewatkan.
Red
Dragon dibuka dengan kedatangan Jack Crawford (anggota
penyidik FBI) ke kediaman Will Graham (mantan penyidik FBI). Mereka pernah bersama-sama
menangani kasus pembunuhan berantai oleh sosiopat jenius, Dr. Hannibal Lecter.
Bukan hanya itu, mereka malah berhasil menangkapnya. Tentu, meski sudah berada
di dalam sel di sebuah rumah sakit jiwa dengan keamanan maksimum, Lecter masih
memiliki peran signifikan di novel ini.
Jack menemui Will dengan maksud
mengajaknya untuk kembali terlibat menyelidiki sebuah kasus pembunuhan. Kasus
ini sudah memakan nyawa dua keluarga. Mereka dibunuh dengan sadis namun
meninggalkan jejak yang janggal yaitu adanya bekas gigitan yang tidak wajar
pada tubuh korban perempuan. Will sendiri awalnya menolak ajakan Jack karena ia
telah merasa nyaman memiliki keluarga sendiri. Well, pastinya, teman-teman bisa menebak apa jawaban akhir dari
Will. Jika Will menolak, tentu novel ini tidak akan menjadi setebal 519 halaman,
hehe.
Meski novel ini tergolong thriller dengan nuansa kriminal, namun
tidak penuh dengan misteri. Di sini pembaca tidak diajak untuk menebak-nebak
atau menjadi detektif dadakan demi mengungkap siapa pelakunya dll. Pada bab 9
yang dimulai dari halaman 112, Thomas Harris membeberkan nama asli si pelaku
berikut pekerjaannya, motif dibalik pembunuhan tersebut, hingga latar belakang
psikologi yang juga menjadi penyebab ia menjadi seperti itu.
Membaca kisah tentang masa lalu si
pembunuh cukup menimbulkan perasaan sedih, miris, kasihan, dan prihatin. Pembaca
akan lupa untuk sementara bagaimana sadisnya ia membunuh. Saat membaca bagian
tersebut, seolah pembaca diajak untuk melihatnya sebagai seorang anak yang
tumbuh dalam lingkungan yang tidak sehat secara mental bukan sebagai pembunuh.
Ia memang bertanggungjawab terhadap dua pembunuhan tersebut namun dibelakangnya
ada orang-orang lain yang juga sebenarnya turut bertanggungjawab. Orang-orang yang
berada di dekatnya sewaktu kecil dan tumbuh menjadi dewasa.
Tidak jauh berbeda dengan The Silence of the Lambs (TSotL), novel
ini masih memuat banyak fakta yang tentunya memerlukan riset. Dalam TSotL,
boleh dibilang aktivitas Lecter lebih meningkat dan banyak menggunakan latar
rumah sakit jiwa. Riset yang pengarang lakukan (boleh jadi) antara lain
mengenai uji forensik dan penyamakan kulit. Sementara di dalam Red Dragon, ada banyak deskripsi
mengenai beragam seksi penyidik FBI dan aktivitas mereka. Aku suka bagaimana mereka
sangat memiliki passion dalam
mengerjakan kasus tersebut. Penyelidikan memanfaatkan semua barang bukti yang
bisa ditemukan. Bahkan bahan pembuat roda dari sebuah kursi roda tua juga
memiliki arti yang signifikan dalam memburu pelakunya. Mereka digambarkan
begitu tekun, cepat dan terorganisir. #keren
The
Silence of the Lambs mempunyai keunikan yang salah satunya
adalah mengandung nama-nama hewan #hehe. Keunikan yang ada di Red Dragon, salah satunya mengaitkan
cerita ini dengan dua lukisan klasik dari tahun 1800an. Dua lukisan ini antara
lain The Great Red Dragon and the Woman
Clothed in Sun karya William Blake dan Lansdowne
Portrait of George Washington karya Gilbert Stuart. Penasaran, mengapa
kedua lukisan itu dicantumkan dalam novel ini? Silakan baca langsung, ya. :D
Aku menyukai membaca Red Dragon. Ada beberapa typo namun tidak menganggu kenyamanan
membaca karena alurnya terasa kuat. Mungkin karena sebelumnya telah menamatkan
TSotL, aku jadi bisa mengantisipasi adegan sadis dan adegan lainnya yang
membuat degub jantung meningkat, #halah. Seri Hannibal Lecter ini masih terasa
adiktif untukku. Jadi, aku berencana untuk membaca seri ini sampai habis. Jika menyukai
buku bertema thriller and crime, seri Hannibal Lecter ini layak dicoba.
Rating: (5/5) it was amazing
Hannibal Lecter Series
Hannibal Lecter Series
Comments
Post a Comment