[Review] Hallowe’en Party by Agatha Christie – Ketika Pembohong Celaka karena Kebohongannya Sendiri
“Kita
merasa tahu---tapi kadang-kadang---yah, kita sama sekali tak tahu.” - Ann
![]() |
gambar diambil dari sini |
Judul: Pesta Hallowe’en
Judul Asli: Hallowe’en
Party
Series: Hercule Poirot #36
Series: Hercule Poirot #36
Pengarang: Agatha Christie
Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama
Tahun terbit: Januari,
2014 (Cetakkan kesembilan)
Tebal buku: 344
halaman
ISBN: 978-979-22-3136-6
Agatha Christie memang terkenal sebagai
penulis novel detektif. Ia menggunakan tokoh Hercule Poirot sebagai tokoh
detektif yang cerdas, rapi dalam berpakaian, dan sesekali menggunakan bahasa
Perancis. Ya, aku memang tidak terlalu paham bagaimana karakter Poirot. Hal ini
karena, Hallowe'en Party adalah buku Agatha yang pertama kali ku baca, haha.
Aku menemukan buku seri detektif Poirot ini di PesBuk (Pesta Buku) Gramedia
akhir bulan Mei lalu. Dan aku langsung saja membelinya. Bukan hanya karena
memang lagi ingin membaca novel detektif, namun juga karena harga novelnya yang
ini murah banget. Limabelas ribu rupiah saja, haha. Bargain all the way ini
ceritanya. Namun nama besar Agatha Chhristie memberikan jaminan tersendiri
kalau novel ini boleh jadi tidak akan mengecewakan.
Novel dibuka dengan pengenalan para tokoh
yang akan bermain di dalam novel ini. Pengenalan ini diberi judul: Susunan
Tokoh-tokoh. Pengenalan ini membuatku teringat dengan beberapa komik Jepang
yang dulu waktu kecil sering kubaca. Pembedanya tentu saja, Agatha hanya
memberikan deskripsi singkat, sementara komik memberikan deskripsi dan gambar raut
wajah tokohnya.
Oke, bagaimana jalan cerita novel ini? Detektif
Poirot kembali menangani sebuah kasus. Kali ini kasus pembunuhan. Dia menerima
kasus ini dari seorang teman wanitanya yang bernama Ariadne Oliver. Ariadne
sendiri adalah seorang penulis novel detektif. Kasus ini membawanya ke daerah
Woodleigh Common. Daerah kecil, pedesaan sepertinya, dimana para penduduknya
mengenal satu sama lain serta gosip-gosip dapat mudah menyebar hanya dari mulut
ke mulut.
Di daerah ini telah terjadi pembunuhan atas
diri seorang anak remaja wanita yang berusia 13 tahun. Anak itu bernama Joyce
Reynolds. Dia dibunuh karena telah bercerita bahwa sewaktu dia kecil -dua atau
tiga tahun yang lalu-, dia pernah melihat sebuah pembunuhan. Dia bercerita saat
membantu persiapan sebuah pesta Halowe'en khusus untuk anak-anak dan remaja yang
tinggal di Woodleigh Common. Ocehannya itu didengar oleh 18 orang yang terlibat
dalam persiapan pesta Hallowe’en (hal.112).
Setelah mengoceh seperti itu di siang hari,
malamnya -ketika pesta telah selesai-, dia ditemukan tewas terbunuh. Kepalanya
disurukkan ke dalam ember berisi air dan apel hingga dia kehabisan napas dan
mati. Jelas sekali, ada yang mempercayai ocehannya tentang pembunuhan tadi
siang, walaupun semua orang di Woodleigh Common tahu bahwa Joyce adalah seorang
pembual alias pembohong besar. Namun ada yang mempercayai ocehannya, salah
seorang yang mendengar ocehannya tentang pembunuhan itulah yang pantas untuk
dicurigai. Dapatkah kalian menebaknya?
Haha, aku juga berusaha menebaknya. Sama
seperti Poirot, aku mencoba mencari tahu, kira-kira kasus pembunuhan yang
manakah yang boleh jadi dipergoki oleh Joyce saat dia masih kecil dulu.
Beberapa kasus pembunuhan yang boleh jadi cukup mencurigakan dan tidak wajar
yang melibatkan orang-orang yang kebetulan mendengar ocehan Joyce saat
persiapan pesta tersebut. Namun, berbeda dengan Poirot, aku tidak bisa
menentukan pelakunya dengan jelas, walaupun Poirot telah berkeliling dan
bercakap-cakap dengan seluruh tokoh yang layak dicurigai, haha. Sudahlah, aku
cukup jadi penikmat dan penonton Poirot yang -tentu- berhasil mengungkap
pembunuh si Joyce ini plus motif dibalik pembunuhan tersebut.
Seperti yang ku bilang sebelumnya, ini kali
pertama aku membaca karya Agatha. Tanpa aku sangka, ini termasuk buku yang
membuatku penasaran. Alhasil ada waktu ketika aku enggan melepas buku ini untuk
sementara dan pergi beristirahat. Salut untuk Agatha dan mungkin para novelis
cerita detektif lainnya. Bagiku membuat kisah dengan memasukkan banyak tokoh -tentu
karakternya harus berbeda satu sama lain- masih bukan hal yang mudah. Pun sekalian
menjalin logika dan menjaga alur novel agar pembaca tidak mudah menebaknya. Ya,
aku cukup menikmati membaca karangan Agatha ini.
Poin lainnya yang mau aku soroti adalah
perihal quote atau kutipan. Maksudku, di novel ini ada banyak quote yang bagus
dan layak untuk dibagi. Aku senang dengan novel yang menyisipkan
nasihat-nasihat baik yang ditulis dengan manis dan masuk ke dalam jalinan
cerita. Ada banyak quote, sekitar sepuluh yang berhasil aku tangkap di novel
ini. Mau tahu selengkapnya? Klik link ini, hehe. Oke, berikut beberapa diantaranya:
Kita sebetulnya tak pernah punya musuh. Yang ada cuma orang yang tidak kita sukai. (hal.93)
Dosa-dosa lama panjang bayangannya, sepanjang perjalanan hidup. (hal.135)
Yang uniknya, Agatha juga mengutip sebuah
peribahasa yang disebutnya peribahasa Islam. Berikut bunyinya:
Nasib tiap manusia telah kami gantungkan dilehernya. (hal.210)
Diantara banyak tokoh yang terlibat di novel
kali ini, ada dua deskripsi tokoh yang aku sukai. Tokoh pertama adalah Judith
Butler dan yang kedua adalah Miranda Butler. Berikut kutipan deskripsinya:
Judith Butler -- Meski tenangnya bagai peri laut, teman Mrs. Oliver ini pun mengkhawatirkan anak perempuannya. (hal.7)
Miranda Butler – Kalau ibunya tenang bagai peri laut, Miranda dapat disamakan dengan peri hutan yang anggun dan lincah. Ia cantik, polos, dan tidak duniawi. (hal.10)
Lantas mengapa? Simple sih, aku suka kata 'Peri Laut' dan 'Peri Hutan' - nya, haha. Aku membayangkan bagaimana, ya, kira-kira rupa mereka? Karena mereka pasti terlihat anggun, cantik, dan tidak duniawi -seperti kata Agatha-. Akhirnya aku putuskan untuk browsing di Google. Dan tadaa... Ini penampakan peri laut dan peri hutan yang kutemukan. Haha.. *abaikan jika kamu anggap ini tidak penting*
Berbicara hal yang boleh jadi tidak penting
lainnya, ada satu kutipan atau lebih tepatnya petikan ucapan yang Michael
Garfield berikan ke Poirot. Saat itu Poirot tengah bercakap-cakap dengan
Michael di taman terapung yang telah dibangunnya. Yup, Garfield adalah ahli
pertamanan dan dia mampu menghasilkan taman yang begitu indah. Tidak heran, dia
memang pengagum keindahan dan taman buatannya pun sangat tidak duniawi, hehe.
Dia pun digambarkan sebagai pemuda yang cantik. Saking indahnya perawakan
tubuhnya, sehingga Poirot mengatakan dia pemuda tampan yang cantik. Namun dia
pemuda asli dan tidak berniat menjadi wanita. Duh, agak bingung memang
mengatakannya. Yuk, baca langsung kutipan berikut:
“…itu ternyata seorang pemuda, pemuda yang cantik luar biasa. …. Ciri-ciri tubuhnya demikian sempurna, seperti hasil karya pemahat klasik. Matanya hitam, rambutnya pun hitam dan pas di kepalanya seperti helm atau topi. Poirot bertanya-tanya dalam hati apakah pertemuannya dengan pemuda ini dalam suatu pertunjukan. Kalau demikian, Poirot berpikir sambil menatap sepatu karetnya, malang, aku mesti pergi ke piñata busana dulu supaya didandani.” (hal.146-147)
Nah, boleh dikatakan, Michael terlihat
pertama kali oleh Poirot seperti Adam di Taman Surga-nya. Poirot pun sangat
mengagumi keindahan fisik yang dimiliki oleh Garfield. Karakter Garfield
sendiri pun yang menonjol adalah sebagai pengagum keindahan.
Tunggu, stop bicara soal fisik Garfield, ini
terus apa sih petikan ucapan Garfield yang tadi ingin dibagikan? Haha, sabar. Sebelum
ku mengetikkannya, menurutku ucapannya ini lucu, konyol, dan ditempatkan seolah
begitu saja. Oleh karenanya, ketika ku tiba-tiba sedang membaca novel ini dengan
penuh perhatian, jadi terkejut dan merasa geli karena ucapannya. Haha, berikut
ucapan yang kumaksud:
“Pulanglah ke kawan-kawan polisi Anda dan tinggalkan saya di sini, di taman firdaus saya. Enyahlah dariku, Setan.” (hal.286)
Okelah, ringkasnya ini novel yang menarik.
Alur dan kasus yang ditawarkan tidak mudah namun tidak terlalu rumit juga. Ya,
walaupun aku merasa kasus matinya suami Mrs. Rowena Drake karena ditabrak lari
itu tidak mendapat perhatian lebih. Sehingga kasus itu terasa hanya sekadar
pelengkap tanpa titik terang yang berarti, padahal mungkin boleh jadi bisa dikembangkan
lagi.
Adapun hal yang disayangkan adalah kemasan
novel ini. Kertas yang digunakan adalah kertas buram, yang kualitasnya mengingatkanku pada novel bajakan yang pernah kubeli dulu zaman kuliahan, hehe.
Terlebih, walaupun aku sudah membacanya dengan hati-hati, ada halaman yang
nyaris koyak. Jilidan di halaman awal -sehabis cover- di novel ini agak rusak,
renggang, tidak melekat dengan baik. Ditambah lagi tidak ada bonus pembatas
bukunya, hmm. Oh ya, lebih jauh, aku hanya menemukan satu typo, tepatnya di
halaman 27.
Terlepas dari semua yang telah ku tuliskan,
aku masih ingin membaca karya Agatha lainnya. Membaca dan mengenal sosok Poirot
lebih jauh, hehe. Kebetulan masih ada beberapa seri yang didiskon di PesBuk.
Kapan lagikan ikutan membaca karya yang telah dituliskan Agatha puluhan tahun
lalu ini? Dituliskan jauh sebelum aku dilahirkan. Haha, yuk mari kita baca
sama-sama. :D
Rating: (3/5) liked it
Rating: (3/5) liked it
Comments
Post a Comment