[Review] Si Badung jadi Pengawas by Enid Blyton – Lebih “kaya” daripada dua buku sebelumnya
"Kita takkan bisa mengerti perubahan yang bisa terjadi pada pribadi seseorang.” – Elizabeth
Judul
asli: The
Naughtiest Girl is a Monitor
Judul terjemahan: Si Badung jadi Pengawas
Seri:
The Naughtiest Girl #3
Pengarang:
Enid
Blyton
Ahli bahasa: Djokolelono
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Terbit:
Cetakan kedelapan - Juni, 2017
Tebal
buku: 256 halaman
Format:
Paperback
ISBN:
9789792280326
Ada dua seri yang ingin kubaca hingga
selesai di tahun ini. Dan aku sudah cukup sering agaknya bercerita tentang hal
ini. Seri pertama adalah Hannibal Lecter series karangan Thomas Harris. Ada dua dari empat buku lagi yang belum
kuselesaikan. Seri berikutnya adalah The Naughtiest Girl atau yang diterjemahkan sebagai seri Si Badung karangan
Enid Blyton. Ada empat buku juga yang sudah diterjemahkan dan hingga review ini
ditulis, aku telah menyelesaikan tiga diantaranya. Aku ingin menamatkan membaca
kedua seri tersebut hanya karena aku sudah mempunyai semua buku di dalam
serinya. Semoga target ini berhasil, sesuai dengan apa yang kuharapkan. Baik
itu selesai membacanya juga selesai mereviewnya.
Seri si Badung sendiri terdiri dari beberapa buku, dan yang sudah diterjemahkan oleh Gramedia (setahuku) sebanyak empat
buku. Di buku pertama, kisahnya lebih dominan tentang Elizabeth yang baru masuk
ke sekolah asrama Whyteleafe. Ini tentang bagaimana Elizabeth menolak keras dan
berusaha untuk keluar dari sekolah tersebut dengan berperilaku badung. Lanjut,
ke buku kedua, Elizabeth yang berubah pikiran semakin betah bersekolah di
Whyteleafe. Hanya saja di buku kedua ini dia diuji dengan kedatangan dua orang murid
baru. Apakah Elizabeth kembali menjadi badung kemudian dikeluarkan? Hasilnya,
Elizabeth semakin menjadi pribadi yang lebih baik sehingga di akhir buku, dia
dipercaya menjadi salah satu Pengawas.
Sistem di sekolah Whyteleafe memang
menganut semacam sistem parlementer. Siswa memiliki kekuatan untuk membuat
peraturan dan pengadilan sendiri. Hukuman dan apresiasi diberikan kepada setiap
siswa secara adil dan bijaksana. Banyak anak yang kemudian menjadi kerasan
bersekolah di sini. Seperti empat orang murid yang baru saja masuk ke
Whyteleafe di semester berikutnya dimana Elizabeth menjalankan posisinya
sebagai Pengawas. Namun tentunya proses adaptasi mereka diiringi lika-liku yang
tidak mudah, terutama juga untuk Elizabeth.
Keempat murid baru tersebut adalah
Julian, Martin, Rosemary, dan Arabella. Mereka berempat memiliki karakter atau
kepribadian yang berbeda-beda. Julian mempunyai otak yang cemerlang dan
merupakan anak yang sangat cerdas lagi terampil. Namun sayangnya ia malas untuk
belajar dan bekerja keras. Martin anak yang baik dan suka memberi namun ia
sering merasa kesepian dan sulit mendapatkan teman. Rosemary juga anak yang
baik, namun sayangnya kurang percaya diri, pemalu, serta tidak berani
mengungkapkan pendapat. Sementara Arabella adalah gadis yang tahu betul tata
karma serta sopan santun. Ia juga cantik serta kaya raya. Hanya saja, ia begitu
pesolek dan sombong serta kurang pintar karena malas belajar. Tidak bisa
dihindari, saat membaca tentang mereka, aku teringat dengan beberapa
orang-orang di sekitarku di dunia nyata, yang memiliki gambaran kepribadian mirip
mereka, hehe.
Julian
tidak peduli akan pujian ataupun celaan. Ia menawarkan diri membuat gerobak itu
bukan karena merasa kasihan pada anak-anak yang bekerja di kebun. Ia membuatnya
hanya karena ia tahu ia bisa, dan ia tahu ia akan merasa senang mengerjakannya. (hlm. 47)
Lumayan terasa getir dan menggemaskan
saat Elizabeth menuai beragam kesulitan dengan beberapa anak baru tersebut dan juga
bagaimana Elizabeth mulai beradaptasi dengan posisi barunya sebagai Pengawas.
Aku merasa sangat bersimpati kepadanya ketika ada banyak situasi yang terjadi
tidak memihak Elizabeth dan membuat keadaan semakin buruk. Beberapa tingkah
anak-anak baru tersebut sangat keterlaluan. Ya, aku tahu akan ada jalan keluar
dan happy ending di akhir buku ketiga
ini (seperti biasa). Namun, hal-hal yang menimpa Elizabeth sangat membuat
gregetan dan emosional.
Lebih lanjut, seperti dua buku lainnya di
seri si Badung ini (The Naughtiest Girl), ada banyak cerita terkait kepribadian
anak (atau bisa juga orang dewasa jika kepribadian tersebut terus melekat).
Membaca anak-anak dan karakternya serta cara menangani karakter mereka yang
kurang bagus, bisa menjadi tambahan ilmu tersendiri. Ya, memang situasinya
tidak akan sama persis. Begitu pun ending
di dunia nyata bisa berbeda. Hanya saja tidak ada ruginya menyimak dan memahami
karakter mereka melalui cerita yang Enid hadirkan di sini. Di buku ketiga ini
juga ada banyak nasihat-nasihat baik dan aku temukan beberapa diantaranya. Akan
kukutip dan kuletakkan di bagian bawah review, ya.
Ringkasnya, buku ketiga ini jauh lebih
dramatis dan menarik. Konflik yang dihadirkan lebih kental daripada dua buku
sebelumnya. Ditambah ada aneka kepribadian dari empat orang anak baru di
Whyteleafe, sangat menarik untuk disimak. Enid menuturkan kelebihan dan
kekurangan pada kepribadian mereka dan bagaimana akhirnya kepribadian mereka
dapat meningkat menjadi lebih baik. Jika saja memang ada sekolah seperti
Whyteleafe, ya.
Dan
memang setiap anak di Sekolah Whyteleafe belajar untuk mengenali diri mereka
sendiri lebih baik, agar bisa memperbaiki bila mereka memiliki sifat-sifat yang
tidak baik -- tanpa mengetahui sifat-sifat seseorang, bagaimana kita bisa tahu ada hal yang harus diperbaiki?
(hlm. 10)
Oke, buku ketiga dari seri si Badung (The Naughtiest Girl) sudah selesai
dibaca dan review. Selanjutnya, aku mau membaca buku keempatnya yang juga sudah
diterjemahkan. Buku keempatnya ini lebih tipis (hanya 99 halaman). Penasaran
kisah apa yang akan dituturkan di buku tersebut. Oh, ya, silakan klik link di
bawah ini untuk membaca review buku pertama dan buku kedua seri si Badung ini.
Selamat menikmati hari, kawan. Selamat membaca buku.
Rating:
(3/5) liked it
“Menghabiskan
liburan dengan seseorang hanyalah menggembirakan kalau kita senang pada orang
itu.” (hlm. 9)
Tanpa
mengetahui sifat-sifat seseorang, bagaimana
kita bisa tahu ada hal yang harus diperbaiki? (hlm. 10)
Kalau
seseorang tahu dirinya merasa bersalah dan menyesal karenanya, maka ia akan
bisa memperbaiki kesalahannya itu. tetapi kalau ia tidak menyesal, hanya merasa
marah karena kesalahannya ketahuan, maka keadaannya akan semakin buruk. (hlm.
74)
“Kini
bisa kurasakan betapa bahagianya seorang yang sedang menghadapi kesulitan
mendapat hiburan dari orang lain. Aku harus selalu ingat saat-saat ini, dan
harus bersedia memberikan kata-kata penghiburan pada mereka yang menderita—bila
kelak keperluan untuk itu muncul.” (hlm. 170)
“Kita
semua bisa saja berbuat salah, kadang-kadang kesalahan yang tolol dan sangat
buruk. Itu tak penting, yang penting adalah apakah kita cukup punya keberanian
untuk bertekad memperbaiki kesalahan kita tadi?” (hlm. 230)
“Kita
tidak bisa menarik kesimpulan bahwa seorang anak yang pemalu akan menjadi
pemalu seterusnya, dan anak nakal akan tetap nakal. Mereka akan cepat berubah
bila mendapat perlakuan yang tepat.” (hlm. 234)
Comments
Post a Comment