[Review] The Mysterious Affair at Styles by Agatha Christie – Kisah Poirot dari sudut pandang Hasting
Imajinasi adalah pelayan yang baik, tetapi tuan yang buruk. – Poirot
Judul
asli: The
Mysterious Affair at Styles
Judul
terjemahan: Misteri di Styles
Series:
Hercule Poirot #1
Pengarang:
Agatha
Christie
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Terbit:
Cetakan kedelapan - November, 2013
Tebal
buku: 272 halaman
Format:
Paperback
Genre:
Mystery
ISBN:
978-979-22-2909-7
Setelah berhasil menamatkan Murder on the Orient Express (MotOE),
aku kembali kecanduan membaca kisah-kisah yang Agatha tulis terutama seri
Poirot. Kebetulan pula masih ada beberapa bukunya yang memang belum tuntas
kubaca. Ditambah lagi, aku sedang mencoba untuk menuntaskan tbr list Mei yang kucoba buat di awal
bulan lalu. Maka segera kuambil The Mysterious
Affair at Styles (TMAaS) sebagai bahan bacaan selanjutnya.
Ketika mulai membaca halaman pertama,
aku menyadari ada sesuatu yang berbeda antara MotOE dengan TMAaS. Perbedaan itu dari segi sudut pandang/PoV. Jika di MotOE, Agatha
menggunakan PoV orang ketiga. Sementara di buku ini, Agatha menggunakan sudut
pandang pertama. Kata “aku” di sana mewakili sahabat Poirot yaitu Kapten
Hasting. Aku tidak heran dengan hal ini karena sebelumnya pernah juga membaca
seri Poirot melalui kacamata orang pertama yang juga Kapten Hasting (Lord Edgaware Dies). Sejujurnya, aku
merasa agak kehilangan selera sedikit. Aku sepertinya lebih suka jika Agatha
menggunakan sudut pandang orang ketiga saja. Ditambah ada beberapa hal yang
membuatku harus membaca kalimatnya berulang karena sulit paham. Jika menggunakan orang ketiga terasa lebih
lancar dan mudah diikuti. Bagaimana menurut kalian?
Oke, The
Mysterious Affair at Styles dimulai ketika Kapten Hasting sedang
mendapatkan cuti pemulihan. Dia diundang oleh sahabatnya untuk berkunjung ke
Styles Court yang merupakan tempat tinggal sahabatnya tersebut di daerah Essex,
Inggris. Dulu sewaktu masih kecil Hasting memang sering bermain dengan John
Cavendish (sahabatnya tersebut).
John Cavendish merupakan anak tertua
penghuni Styles Court. Istrinya bernama Mary dan adik lelakinya bernama
Lawrence. Dia memiliki seorang ibu tiri yang murah hati dan telah dianggap
sebagai ibu sendiri yang bernama Emily. Senyum John berubah menjadi kecut
ketika dia bercerita kepada Hasting jika ibunya itu menikah lagi dengan seorang
bernama Alfred. Dia menganggap jika Alfred hanya berpura-pura baik dan
menginginkan harta saja. Selain mereka, tinggal pula di Styles, gadis muda
bernama Cynthia (anak angkat Emily) dan Bibi Evelyn (masih ada kekerabatan
dengan Alfred namun saat membenci Alfred). Oh, ya, ada satu orang lagi yaitu
Dr. Bauerstein yang merupakan seorang ahli racun sahabat Mary Cavendish dan
beberapa kali mengunjungi rumah tersebut.
Konflik dimulai pada 16 dan 17 Juli.
Pada saat subuh Emily berteriak gaduh dari bilik kamarnya. Hasting, John, dan
penghuni lainnya mencoba masuk ke dalam kamarnya yang terkunci. Ketika mereka
berhasil mendobrak masuk, terlihat Emily mengalami kesusahan dan kemudian
meninggal. Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui jika dia telah diracun.
Sebuah surat wasiat terbaru yang ditulis Emily kemudian ditemukan terbakar di
perapian. Poirot yang kebetulan berkunjung ke daerah tersebut dimintai tolong
oleh Hasting dan John serta kepolisian Scotland Yard untuk memecahkan kasus
tersebut. Adakah yang bisa menebak siapa pelakunya?
The
Mysterious Affair at Styles termasuk lumayan tipis, terdiri
dari 272 halaman. Seingatku dari beberapa seri Poirot lainnya yang telah
kubaca, di seri ini paling banyak ilustrasi. Kapten Hasting bilang ilustrasi
tersebut akan membantu pembaca memahami situasi dan hal penting lainnya terkait
dengan Styles, hehe. Dan itu sedikit membuatku merasa mendapatkan pengalaman baca yang berbeda dan merasa ada
sesuatu yang baru yang kudapatkan dari hasil membaca seri Poirot yang ini.
Salah satu ilustrasi yang ditampilkan
adalah denah kamar di lantai atas di Styles Court. Setiap penghuninya memiliki
kamar sendiri di rumah besar tersebut. Iya, setiap orang walaupun mereka suami
istri. Kamar suami dan kamar istri berlainan namun masih berdekatan, hanya
dipisahkan oleh satu dinding dan ada pintu tembus di antara kamar tersebut.
Entah memang pada masa itu begitulah aturan atau tren-nya. Pastinya lumayan berbeda dengan masa sekarang. Aku menemui kamar dengan pintu
tembus atau pintu penghubung itu di rumah nenekku. Jadi, ya, mungkinlah pada
masa itu seperti itu? Hahaha, #apasih.
Aku tidak tahu apakah ini merupakan ciri
khas setiap kisah di seri Poirot. Selalu ada penjelasan tentang Poirot serta
tentang dirinya yang berkepala bulat telur, merapikan kumis, dan mengandalkan
sel kelabu otaknya. Haha, ya, pastinya hal tersebut sangat membatu pembaca
mengenal ciri fisik Poirot. Apalagi pembaca seperti aku yang mulai membaca
serinya secara acak. Lagipula setiap serinya memang bisa berdiri sendiri. Mungkin
karena itulah ada pengulangan. Namun rasanya tidak dengan karakternya. Maksudku
semakin banyak kita membaca seri Poirot, semakin terkuak karakternya seperti
apa. Haha, menurutku, sih, seperti itu.
Poirot
adalah laki-laki kecil yang luar biasa. Tingginya tidak lebih dari satu meter
enam puluh, tetapi sangat berwibawa. Kepalanya berbentuk seperti bulat telur,
dan selalu miring sedikit ke satu sisi. Kumisnya sangat kaku. Pakaiannya rapi
sekali. (hal. 29)
Poirot
menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia sekarang merapikan kumisnya dengan
hati-hati. (hal. 48)
Poirot
menyambar topinya, memelintir kumisnya, dan dengan hati-hati menjentikkan debu
yang tak kelihatan dari lengan bajunya. (hal. 142)
Salah satu karakter yang terkuak di buku
ini adalah tentang Poirot yang memperhatikan detail. Memang dia sangat awas
ketika menyelidiki TKP berikut memilah kesaksian orang yang terlibat dalam
suatu kasus. Selain itu Poirot juga sangat mendetail soal penampilan. Bukan
penampilan dirinya saja namun juga temannya hingga tata letak furniture di
suatu ruangan.
“….
Maaf, mon ami, kau tadi pasti tergesa-gesa. Dasimu miring. Maaf.” Dengan
cekatan jarinya mengatur dasiku. (hal. 50)
Kami
menunggu dengan perasaan tegang. Poirot sendiri kelihatan santai. Dia
membersihkan debu di sudut lemari buku. (hal. 87)
Overall,
aku sedikit kurang menikmati kisah ini karena ekspektasiku yang sedikit lebih
tinggi dari seri Poirot yang sebelumnya kubaca. Murder on the Orient Express merupakan buku yang keren, menarik.
Selain itu, mungkin juga karena buku ini menggunakan sudut pandang orang
pertama serta kasusnya yang diceritakan agak membingungkan (menurutku).
Terlepas dari hal tersebut, aku masih menyukai tulisan Agatha, aku masih
menyukai Poirot. Ada beberapa hal menarik dari Poirot yang baru kuketahui
selain tentang kumisnya dan kekuatan sel kelabu otaknya tersebut. Untuk
mendapatkan poin di Read and ReviewChallenge BBI, aku masih harus membaca dan mereview dua buku karangan
Agatha Christie. Sudah ada calonnya di tumpukan. Tinggal eksekusinya, ajah.
Haha, semoga bisa. Semangat!! :D
Rating:
(3/3) liked it
Submitted
to:
----------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------
Seri Hercule Poirot bisa dikatakan merupakan bagian dari
kisah klasik. Biasanya aku menemukan banyak kutipan karena klasik sering
memberikan pembelajaran dan nuansa hidup yang lebih sederhana dan bermakna.
Tentunya yang kuanggap menarik karena quotes
yang kukutip dari buku yang telah kubaca itu kunilai menarik berdasarkan
seleraku saja. Namun sayangnya di beberapa seri Poirot yang telah kubaca
akhir-akhir ini tidak banyak quote manarik yang kutemukan. Khusus di seri ini
(The Mysterious Affair at Styles) aku hanya menemukan tiga yang oke
(menurutku). Baiklah, langsung kugandeng dengan postingan reviewnya. Berikut
kutipan yang kumaksud. Selamat menikmati. Selamat membaca buku, hehe. :D
“Poirot,
aku kan tidak mendiktemu. Kau dan aku sama-sama punya hak untuk berpendapat.” (hal.
72)
“Karena
kau terlalu mengekang imajinasimu. Imajinasi adalah pelayan yang baik, tetapi
tuan yang buruk. Penjelasan yang paling sederhana merupakan kemungkinan paling
besar.” (hal. 103)
“Insting
memang sesuatu yang luar biasa,” kata Poirot. “Tidak bisa dijelaskan ataupun
diacuhkan.” (hal. 168)
Comments
Post a Comment