[Review] The Conch Bearer by Chitra Banerjee Divakaruni – Kisah pembawa keong ajaib dari India
“Menangis
tidak jelek. Membersihkan hati, membuat ruang di dalamnya untuk pertumbuhan.” -
Abhaydatta
Judul
asli: The
Conch Bearer
Judul
terjemahan: Keong Ajaib
Seri: Brotherhood of the Conch #1
Seri: Brotherhood of the Conch #1
Pengarang:
Chitra
Banerjee Divakaruni
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Terbit:
Cetakan pertama - Februari, 2004
Tebal
buku: 272 halaman
Format:
Paperback
Genre:
Adventure, Mystery, Fantasy
ISBN:
979-22-0745-7
Jika membaca nama pengarang buku ini,
mungkin sebagian besar bisa menebak jika buku ini ditulis oleh seseorang dari
India, setidaknya Asia. Nama tengah dan belakangnya kental sekali dengan unsur
yang demikian. Belakangan aku mengecek internet untuk memastikannya, dan hasilnya
memang positif. Ketika membeli aku hanya menebak dan memang namanya membuatku
tertarik untuk membawa buku ini karena aku belum pernah menikmati buku karangan
penulis dari negeri Taj Mahal tersebut. Selain itu, aku juga menyukai sampulnya
yang simple dan ringkasan kisahnya mengenai Anand yang berusia dua belas tahun itu
membuatku berpikir The Conch Bearer
tidak masalah dibaca oleh anak-anak.
Judul, sampul, dan blurb buku ini
mengarahkan kita ke keong sebagai inti masalahnya atau pusat cerita. Keong? Mau
tak mau pikiranku tertarik ke salah satu dongeng dari negeri kita tercinta,
Indonesia, yaitu dongeng Keong Emas. Sepertinya pada beberapa kawasan, terlebih
yang pernah mempunyai hubungan sejarah, telah berbagi kebudayaan atau suatu
sistem yang khas. Misalnya, adanya kemiripan bangunan candi hindu di Indonesia
dan India. Ada pula beberapa tradisi ritual perkawinan yang mirip (hasil nonton
beberapa serial Bollywood bareng
Emak, hehe). Lalu keong? Keong menjadi hewan ajaib di salah satu dongeng di
negeri ini. Pun dengan keong di dalam kisah ini. Entah mengapa aku jadi
menghubungkan hal-hal di atas seperti itu.
Anand adalah seorang anak miskin berusia
12 tahun. Dia harus putus sekolah demi membantu perekonomian keluarga setelah
ayahnya pergi dan tak lama menghilang tanpa kabar di Dubai. Pekerjaan Ibunya
sebagai tukang masak sama sekali tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka.
Pun adiknya, Meera tengah mengalami shock dan tidak dapat berbuat banyak.
Ibunya menghabiskan banyak tabungan mereka demi kesembuhan Meera namun sama
sekali tidak membuahkan hasil yang diharapkan.
Anand menyukai kisah-kisah dongeng dan
selalu percaya bahwa keajaiban itu ada. Hingga kepercayaan Anad teruji dengan
datangnya seorang kakek tua bernama Abhaydatta. Dia menawari Anand untuk
menjadi asistennya dan membantu si Kakek mengembalikan keong ajaib ke Lembah
Perak, tempat keong itu seharusnya berada sebelum dicuri dari sana oleh seorang
penyihir jahat bernama Surabhanu. Anand terpukau dengan keindahan keong. Si
Kakek membantu menyembuhkan Meera. Akankah Anand dapat meninggalkan ibu dan
adiknya demi bertualang bersama seorang kakek dengan menjadi pembawa keong? Terlebih, apakah Ibunya mengijinkannya? Sejahat dan sekuat apakah Surabhanu yang
mengincar keong ajaib itu? Lalu siapa gadis kecil yang diberi nama Nisha yang
membantu Anand menyusul Kakek Abhaydatta?
Ia
tidak mengatakan pada ibunya bahwa jauh di dalam hatinya, ia percaya keajaiban
mungkin bisa terjadi. Bukan, bukan mungkin, tetapi memang terjadi. Bahw
akeajaiban terjadi sepanjang saat, di sekitar mereka, hanya saja kebanyakan
orang tidak menyadarinya. (hal. 11)
Seperti yang kutuliskan sebelumnya,
beberapa bulan lalu aku menemani Emak menonton beberapa drama India yang tayang
di salah satu channel TV. Dan, ya, menurutku drama tersebut agak berlebihan.
Maksudnya yang baik terlalu baik, sementara yang jahat terlalu jahat dan licik.
Yang paling bikin “gemes” itu waktu melihat protagonisnya yang begitu lugu dan kena
fitnah dan sengsara dan terlalu drama. Kukira itu cuma hanya ada di serial tivi
saja. Namun tidak. Setidaknya aku menemukan hal yang sama di buku ini.
Anand bekerja di sebuah warung teh milik
Haru. Si pemilik warung alangkah tidak baiknya terhadap anak itu. Anand
dipekerjakan meski dibawah umur. Dia sering dimarahi, dipukuli, dan saking
mirisnya diberi sarapan basi. Benar-benar bikin “gemes”. Dan rasa gemas itu
semakin dipelintir oleh penulis dengan adegan ini: Anand menyisihkan uang hasil
kerjanya yang pas-pasan untuk membeli mangga manis yang dihargai dengan mahal
oleh penjualnya. Dia hanya dapat membeli sebuah manga. Di perjalanan pulang dia
mendapat musibah. Dia terjatuh dan mangganya terlepas dari tangannya karena dia
ketakutan dengan angin dan kabut yang tampak mengikutinya. Oh, Tuhan! Memang
akhirnya happy ending. Hanya saja, membaca bagian awal buku ini sudah disuguhi dengan hal-hal berbau
kekerasan, ketidakadilan, humiliation,
dan hal-hal lainnya yang bikin “gemes”. Apa memang benar begitu realita hidup
di sana?
Anand
membuka mulut untuk memprotes. Astaga, si pemilik toko meminta dua kali lebih
banyak daripada yang diminta para pedagang kaki lima! (hal. 21)
Kakinya
tersandung sesuatu, lalu ia jatuh terjerembap. Manga terlepas dari tangannya
dan menggelinding ke dalam kegelapan. (hal. 24)
Ya, mungkin ini kisah petualangan dengan
latar drama. Aku bisa menikmati beberapa bagian dari buku ini meski
tidak bisa menikmati secara keseluruhan. Ada bagian yang membuatku merasa lelah untuk diikuti. Misalnya petualangan
yang menjadi terasa garing dan sebagainya. Balik lagi, mungkin karena buku
ini mungkin ditulis untuk anak-anak atau setidaknya bukan untuk dewasa
(mengabaikan beberapa adegan kekerasan di bagian awal buku). Selain itu ada
hal-hal di buku ini yang mengingatkanku dengan beberapa kisah legendaris. Anand
si pembawa keong mengingatkanku dengan kisah perjalanan Frodo dan Sam dalam
seri The Lord of the Rings. Lalu
tentang tas Abhaydatta mengingatkanku dengan kantong Doraemon. Begitu pula
dengan sosok ular besar jelmaan Surabhanu mengingatkanku dengan wujud Voldemort
dalam serial Harry Potter.
Memang butuh usaha ekstra bagiku untuk
menamatkan buku ini. Aku sampai tiga kali jeda membacanya dan sempat diselingi
oleh buku lain. Namun aku sudah berkomitmen dengan membuat daftar buku-buku yang
akan dibaca di bulan ini dan buku ini termasuk ke dalam daftar itu. Syukurlah
kisah mulai membaik ketika menjelang akhir. Horeee…
Pastinya aku salut dengan penerjemahnya
sekaligus penasaran. Aku tidak tahu pasti buku aslinya yang belum diterjemahkan
itu menggunakan bahasa Inggris atau India. Jika menggunakan bahasa India pasti
terasa unik. Dan memang ada beberapa kata yang bikin penasaran karena tidak
diterjemahkan atau dibuatkan catatan kaki. Kebanyakan nama makanan, lalu
sebutan seperti “dadaji”. Istilah-istilah tersebut agak membuat bingung campur
penasaran. Terlepas dari hal itu, ini kali pertama aku membaca buku yang
pengarangnya berasal dari India dan aku berterimakasih untuk penterjemah
dan penerbitnya. The Conch Bearer memberikan
pengalaman membaca dengan konteks budaya yang berbeda dari buku-buku yang
kubaca sebelumnya.
Rating: (2/3) it was ok
Submitted
to:
----------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------
Akhirnya, aku bisa berusaha memnuhi
komitmen untuk membaca The Conch Bearer
di bulan ini. Buku ini sudah ada di tumpukan sejak setahun lalu. Membacanya
lumayan mengurangi tumpukan, haha. Kisahnya berkisar tentang perjalanan dua
orang anak (salah satunya bernama Anand) dan seorang kakek tua. Misi mereka
mengembalikan keong ajaib ke tempat semula di Lembah Perak. The Conch Bearer ditulis oleh seorang
penulis dari India. Oleh karena itu membacanya memberikan pengalaman yang
berbeda meski lumayan sulit menamatkannya.
Aku menemukan beberapa kutipan menarik
di buku ini. Sudah kuketik ulang. Berikut daftarnya. Ada yang kamu suka? By the way, selamat membaca buku, kawan.
:D
Ibu
benar, pikirnya. Berbagi apa yang kita punyai dengan orang lain betul-betul
terasa menyenangkan. Kalau tidak, mengapa ia tiba-tiba merasa tersiram
kehangatan, … (hal. 19)
Kalau
saja aku punya kekuatan untuk menyapukan tanganku ke atas meja-meja dan
membuatnya baru dan mengilap! pikirnya. Tetapi tidak, kalau aku tahu bagaimana
melakukan sihir semacam itu, aku akan mulai dengan hati Haru yang jahat. (hal.
20)
Anand
melihat sekeliling tanpa harapan, mencari petunjuk. Aku butuh sesuatu untuk
menuntunku ke pilihan yang benar, pikirnya. Sejauh ini, aku hanya membuat
kesalahan demi kesalahan. (hal. 81)
“Bahaya
akan menimpa kita kapan saja. Kita tidak bisa menghentikannya. Kita hanya bisa
berusaha mempersiapkan diri. tidak ada gunanya menunggu-nunggu bencana dan
menderita karena pengaruhnya bahkan
sebelum ia datang.” (hal. 102)
“Waktu
menghapus semua duka,” kata Keong. “Namun kalian manusia begitu tidak sabar.
Kalian menghendaki penyelesaian sekarang juga. Syukurlah itupun bisa diatur.”
(hal. 254)
“—untuk
bisa meraih sesuatu yang besar, seseorang harus melepaskan cengkeramannya atas
sesuatu yang lain yang juga sama disukainya.” (hal. 259)
“Menangis
tidak jelek,” katanya. “Membersihkan hati, membuat ruang di dalamnya untuk
pertumbuhan.” (hal. 261)
wahh.. sepertinya menarik tapi kayaknya agak susah diselesaikan ya bukunya hehe.. hebat akhirnya bisa menjalani komitmen menyelesaikan buku ini :)
ReplyDeleteIya Kak. Akhirnya bisa diselesaikan, hehe.
Delete