[Review] King Solomon’s Mines by H. Rider Haggard – Petualangan di Negeri Eksotis, Afrika

“Perjalanan ini jauh. Tetapi tidak ada perjalanan di muka bumi yang tidak dilakukan seorang laki-laki jika ia telah bertekad untuk melakukannya. …” – Sir Henry

Bukan cover dari edisi yang kupunya. Sumber
 
Judul Asli: King Solomon’s Mines
Judul Terjemahan: Harta Karun Raja Sulaiman
Seri: Allan Quatermain #1
Pengarang: Sir Henry Rider Haggard
Penerbit: Kanal Publika
Terbit: Cetakan pertama, 2013
Tebal buku: 273 halaman
Format: Paperback
Genre: Adventure
ISBN: 978-602-7900-29-5

Buku ini dibeli pada bulan November tahun lalu. Judulnya adalah satu hal yang pertama menarik hatiku. Ada kata Solomon (yang saat itu kutebak) merujuk kepada nama Nabi Sulaiman dalam ajaran Islam. Pun, ternyata memang kata Solomon tersebut diterjemahkan sebagai Sulaiman di buku ini. Mengenai kebenarannya, apakah Solomon adalah Nabi Sulaiman, tidak akan kuperdebatkan di sini. Aku tidak mempunyai jangkauan ilmu yang memadai untuk membahasnya, hehe.

Tokoh utama di buku ini bernama Allan Quatermain. Nama ini familiar untukku. Benakku pun langsung menampilkan ingatan mengenai sebuah film yang berjudul: The League of Extraordinary Gentleman. Film tersebut bercerita mengenai 13 orang “luar biasa” yang berkumpul dalam satu tim. Mereka harus menyelesaikan sebuah kasus di bawah dinas rahasia Inggris. Di film itulah pertama kali aku mengenal nama Allan Quatermain. Di film tersebut juga disebutkan Allan menjadi ketua dari tim tersebut. Dia ditemukan di Afrika, persis seperti setting di dalam buku ini. Aku pun berkesimpulan bahwa ini Allan yang sama, haha. Meski ada beberapa hal yang menggangguku ketika telah selesai membaca novel ini.

Sir Henry Curtis bersama dengan Kapten John Good meminta Allan untuk menemani mereka mencari adiknya Sir Henry yang telah hilang dua tahun yang lalu. Adiknya yang bernama Neville Curtis itu diduga nekat pergi ke Afrika setelah bertengkar hebat dengan kakaknya. Dia bermaksud mencari tambang berlian peninggalan Raja Sulaiman dan menemukan harta karun di sana berbekal cerita dari masa lampau. Ketika sampai di Afrika, Neville telah bertemu dengan Allan dan memang Allan adalah seorang pemburu kulit putih yang cukup dihormati di daerah Natal, Afrika Selatan. Allan pun rupanya menyimpan salinan peta menuju tambang tersebut yang di dapatnya dari seorang Portugis bernama De Sivra yang dulu (beratus tahun yang lalu) kakeknya juga pernah mencoba menemukan harta karun tersebut.

Sudah tentu bahwa ada banyak tragedi yang menimpa selama perjalanan. Selain mereka bertiga (Allan, Sir Henry, dan kapten Good) ikut pula tiga orang pelayan dari penduduk lokal, salah satunya bernama Umbopa. Allan mencurigai sikap Umbopa namun sebenarnya dia memang bukan penjahat di sini. Sedikit bocoran, rupanya dia adalah anak Raja yang terbuang. Melalui perjalanan ini, dia ingin kembali memimpin sukunya yang rupanya suku paling dekat dengan tambang, bahkan bisa dibilang sebagai suku penjaga tambang berlian tersebut. Yang jadi masalah, sukunya saat itu sedang dipimpin oleh Pamannya bernama Twala. Dia memimpin dengan kejam dan semena-mena. Jadi ada tiga konflik di sini; pertama pencarian adik yang hilang; perburuan harta karun, dan penggulingan kekuasaan.

Satu hal yang menarik dari buku ini adalah pemaparan mengenai Afrika yang sangat kental. Tidak hanya sebatas nama tokoh, namun juga nama suku, karakter suku-suku tersebut, pakaian dan tradisi, beberapa istilah berbau Afrika, hingga hewan-hewan dan sifat-sifat mereka serta tentunya setting tempat yang menambah keeksotisan benua satu ini. Tidak mengherankan memang, penulis buku ini (Sir Henry Rider Haggard) memang pernah bekerja di Afrika sana. Tentunya Afrika “tempoe doeloe” mengingat buku ini telah ada sejak tahun 1885. Berbekal dari pengalamannya itulah dia menulis beberapa novel, yang salah satunya adalah King Solomon’s Mines. Khusus untuk kisah Allan Quatermain ini, rupanya penulis membuat beberapa novel lainnya. Total ada 6 buku serinya yang kulihat di Goodreads.

Sedikit berkomentar, ada adegan yang menggangguku dan membuat tidak nyaman membacanya. Ya, adegan perburuan gajah. Saat melakukan perjalanan menuju tambang Sulaiman, kelompok ini melakukan perburuan gajah untuk kesenangan dan mengambil gadingnya. Kebetulan ada satu kelompok gajah yang melintas dan mereka melakukan perburuan tersebut. Di hari itu 9 ekor gajah berhasil mereka tembak dan mati. Lalu ironisnya, gajah terakhir yang paling besar mengamuk dan hampir membunuh Kapten Good, kalau saja salah seorang pelayannya tidak menolong si Kapten. Alhasil pelayan tersebut yang menjadi sasaran amukan gajah yang telah terluka tersebut. Gajah itu akhirnya membelah dua tubuh si pelayan. Ya, dia tewas menggenaskan. Melihat hal tersebut Allan dkk menjadi marah dan akhirnya matilah itu gajah.

Sungguh sulit memang untuk tidak mencampurkan emosi saat membaca sebuah buku. Untuk satu hal ini, aku sangat terkejut dan sangat tidak setuju. Namun aku juga tidak lupa kalau buku ini ditulis lebih dari seabad yang lalu. Dan mungkin memang kondisi Afrika tempoe doeloe sudah jauh berbeda dengan saat ini. Saat itu gajah dan hewan lainnya melimpah ruah. Pun mungkin saat itu, bangsawan Inggris sangat menyenangi berburu. Meski begitu, aku tetap merasa ini adegan yang terlalu keras dan aku tidak menyetujuinya. Ini menyedihkan bahkan aku merasa lebih sedih ketimbang membaca Twala yang memainkan permainan sadis dan membunuh banyak rakyatnya dalam semalam berdasarkan pertimbangan mistis dari dukun-dukun. Ah, entahlah.  

Oke, lanjut! Dari segi penampilan (packaging), buku yang kupunya ini terbitan Kanal Publika dan memiliki cover dengan dominan warna hitam. Ada gambar sebuah tambang bawah tanah yang diterangi cahaya biru. Aku tidak tahu dan tidak mencari tahu mengenai penerbitnya. Hanya saja buku ini mengingatkanku dengan buku-buku lawas yang sering kupinjam di perpustakaan sekolah dulu. Memang ini adalah kisah klasik, namun maksudku terlihat “klasik” juga dari segi penampilan. Judulnya tidak dicetak timbul (yang bagiku efektif untuk membedakan buku asli dan bajakan). Pun bagian dalamnya, membawa kesan seperti itu, seadanya sekali. Lalu font huruf yang digunakan sepertinya Arial yang terlihat berbaris rapat. Namun, ukuran dan spasinya tidak membuat mataku mengeluh. Aku tidak mengatakan penampilan buku ini buruk, aku cukup menyukainya. Anggap saja penampilan buku ini cukup unik, hehe.

Satu hal yang sulit untuk ditolerir adalah kualitas terjemahannya dan ada bagian yang hilang dari buku ini. Ya, aku tidak terlalu nyaman membaca kisahnya karena ada kejanggalan dari hasil terjemahannya. Aku menilainya dari sisi seorang pembaca dan aku menilai kualitasnya standard sekali hingga harus sedikit lebih sabar membaca kisah ini. Dan seperti yang kubilang di atas, aku jadi membandingkan Allan di film dengan Allan di buku ini. Di film, dia begitu piawai dan berwibawa. Di buku ini, Allan menjadi begitu seadanya dan justru Sir Henry yang terlihat begitu menarik dan memegang peranan. Entahlah, aku jadi mengaitkan kualitas karakter dengan kualitas terjemahannya ini.

Begitupula dengan bagian yang hilang di halaman 84 dan 85. Bukan, bukan halaman yang hilang, namun bagian kisahnya yang hilang. Masa dari sehabis bab 5 langsung loncat ke bab 10. What?? Aku merasa ini ada unsur kesengajaan mengingat halamannya bergerak maju dengan benar. Aku tidak tahu apa alasan penerbit melakukan ini. Ada apa dengan bab 6-9? Padahal aku cukup suka dengan cerita melintasi padang pasir tersebut. Huft! Sabar Kiki, nggak boleh suudzon!

Baiklah, mungkin kesimpulannya ini buku yang terlihat menjanjikan. Judul yang diusung memberi daya tarik sendiri. Pun predikat sebagai kisah klasik yang masih mampu bertahan diterbitkan dan dinikmati hingga lebih satu abad adalah satu poin menarik. Belum lagi pembaca bisa terbawa dengan keeksotisan benua Afrika dan segala penghuninya yang dipaparkan dengan detail dan menarik. Aku pun membeli buku ini di toko buku kenamaan. Namun poin-poin tersebut tidak mampu menutup kekecewaanku ketika telah membuka segel dan mulai membaca. Aku kecewa kepada penerbit; mulai dari penampilan buku, kualitas terjemahan, dan terlebih mengenai bagian yang hilang tersebut.

Rating: (1/5) did not like it

Submitted to:
-------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------------------------------------

Tidak banyak quotes yang kutemukan, namun membaca quotes ini membuatku merasakan aroma manis dari kisah klasik. Seperti nasihat seorang kakek untuk cucunya. Semisal nasihat yang sarat akan kesederhanaan hidup di masa yang telah lalu. Mari kita simak. :D

“…karena aku tidak suka dianggap sebagai orang tolol yang menceritakan kebohongan dan yang selalu menyombongkan diri pada orang-orang baru tentang petualangan perburuan luar biasa yang tidak pernah terjadi.” (hal. 26-27)

“Perjalanan ini jauh. Tetapi tidak ada perjalanan di muka bumi yang tidak dilakukan seorang laki-laki jika ia telah bertekad untuk melakukannya. …” (hal. 69)

“…. Mereka yang hidup untuk melihat akan melihat.” (hal. 71)

“Aku tidak menggali lubang agar kamu jatuh ke dalamnya.” (hal. 71)

Masa depan kami sungguh tidak diketahui, dan aku berpikir bahwa yang tidak diketahui dan yang mengerikan selalu membawa manusia lebih dekat kepada Sang Pencipta. (hal. 76)

Tetapi segala sesuatunya mempunyai akhir, jika kamu hidup cukup lama untuk melihatnya. (hal. 82-83)  

Ketika seseorang menguasai satu hal ia harus meningkatkan reputasinya di bidang tersebut. (hal. 144)

Aku katakan ini sebagai bukti betapa kecilnya kita memikirkan orang lain ketika keselamatan, kebanggaan atau reputasi kita dipertanyakan. (hal. 145)

“Sementara ada kehidupan maka masih ada harapan.” (hal. 237)

Comments

Popular posts from this blog

7 Alasan Memilih dan Membeli Buku Bacaan

[Review] The Silmarillion by J.R.R Tolkien – Sebuah riwayat yang panjang

[Review] Cewek Paling Badung di Sekolah by Enid Blyton – Asal mula Elizabeth dikirim ke Whyteleafe