[Review] Unfinished Journal by Fauzi Maulana – Melihat masa depan dari sisi lingkungan

“Masalah itu ada untuk diselesaikan, bukan untuk dimaki-maki.”- Ibu

sumber

Judul: Unfinished Journal
Pengarang: Fauzi Maulana
Penerbit: Dar! Mizan
Tahun terbit: 2011
Tebal buku: 168 halaman
Format: Paperback
ISBN: 978-979-066-579-8

Masa depan! Apa yang terlintas di benakmu saat mendengar kata itu? Apa segala sesuatu terlihat lebih canggih, lebih modern? Atau justru lebih primitif dari masa kini? Ya, kita punya banyak pilihan untuk melihat masa depan. Kita bebas menentukan dari sudut mana kita ingin melihatnya.

Aku baru saja menamatkan sebuah novel setebal 168 halaman. Jujur yang membuatku mengangkat novel ini dari tumpukan adalah desain sampulnya yang kunilai menarik. Dominan warna kuning muda dengan lembaran kertas yang berserakan serta bayangan kepala seseorang di atas pena bulu. Design cover depannya membawa kesan artistic tersendiri untuk sebuah novel di bawah seri fantasteen. Kuperhatikan pula bagian tepi buku yang berwarna putih bersih menandakan jenis kertas yang digunakan terlihat asik untuk dikoleksi.

Pengamatanku berlanjut ke bagian belakang buku. Buku ini membuatku beberapa kali terkejut. Saat membaca sinopsis di bagian belakang buku, ternyata setting-nya adalah masa depan, tepatnya tahun 2093. Ditambah lagi tokoh utamanya bernama Ardi dan tinggal di Bandung. Semua semakin fix saat kulihat pengarangnya bernama Fauzi. Sounds familiar? Yes, that’s Indonesian name. Ini karangan anak bangsa. Walaupun sedikit bingung kaitan antara pena bulu di cover bagian depan serta kata “mesin waktu” di bagian belakang, aku memutuskan untuk membeli dan melahap novel ini.

Umm, seingatku, bisa dibilang ini novel futuristic atau sci-fiction pertamaku. Umumnya aku menikmati kisah seperti ini melalui film terutama film dari Amerika sana. Dari sinopsisnya dinyatakan bahwa kehidupan di Bumi saat itu sudah seperti di neraka. Ini terjadi akibat perang nuklir di tahun 2065 (meski di dalam buku tidak ada disinggung tentang perang nuklir ini atau memang aku yang melewatkan sesuatu?). Bagaimanapun ekspektasiku cukup besar untuk buku ini. Apakah berhasil membuatku puas membacanya? #halah. Mari kita simak, hihi.

Ardi Nurdiana, anak berumur 16 tahun berasal dari Bandung, Indonesia. Dia tinggal bersama kedua orangtuanya di masa depan serta mempunyai seorang kakak bernama Abimanyu. Kakanya adalah seorang peneliti lingkungan dan bekerja di Palembang. Ardi bercerita bahwa Bumi yang ditempatinya sudah sangat kacau. Pasokan air dan udara menipis. Lapisan ozon sudah banyak yang berlubang serta kutub-kutub Bumi tidak lagi sebagaimana mestinya. Hal ini mengakibatkan badai matahari mampu mencapai permukaan Bumi. Ya, yang kacau di sini (terutama) adalah lingkungan. Dari prolog-nya bisa disimpulkan jika penulis lebih banyak melihat masa depan dari sudut kerusakan lingkungan.

Konflik di novel ini bekisar tentang bagaimana Ardi dan keluarganya bertahan hidup. Semua menjadi semakin susah saat Walikota memberlakukan peraturan baru yaitu pembelian oksigen. Tidak tanggung-tanggung, setiap kepala berusia di atas 21 tahun, dikenakan tagihan oksigen sebesar 3 juta rupiah untuk per bulannya. Ironisnya, penghasilan ayah Ardi hanya 2 juta per bulan. Konsekuensi bagi yang tidak bisa membayar adalah dikeluarkan dari Kota Bandung. Bukannya enak. Saat itu sepertinya setiap kota memiliki semacam kubah untuk melindungi penduduk dari radiasi matahari. Nah, otomatis, jika keluar dari kota Bandung atau pun kota lainnya sama dengan mati karena keluar dari kubah.

Hmm, sebenarnya ide tentang kubah ini adalah ide yang bagus. Namun sayangnya tidak terlalu dijabarkan lebih detil oleh penulisnya. Maksudku, ide ini masih mengundang pertanyaan lainnya, seperti bagaimana kubah di kota lainnya? Apakah kubah itu memang terpisah-pisah atau satu kesatuan di bawah naungan Negara? Apakah jika keluar dari kubah kota Bandung, lalu ada wilayah bebas yang tidak berkubah? Ya, peran pemerintah di sini hanya sampai walikota. Tidak ada penjelasan lengkap dalam skala –paling tidak- sebuah Negara. Haha, aku memang suka bertanya soal detail cerita saat membaca novel ini.

Mungkin penulis terlalu menitikberatkan ceritanya dari segi lingkungan. Maksudku, dia menulis tentang masa depan dari sisi lingkungan. Apa yang berubah dari lingkungan sekitar adalah poin yang akan sering dijumpai dari buku ini. Dari sisi inilah muncul ide-ide menarik semacam kubah pelindung di atas. Ide lainnya yang tak kalah menarik adalah tentang krisis air bersih. Ini mengakibatkan penduduk masa itu hanya bisa meminum setengah gelas air bersih per hari. Sisanya mereka menggunakan vilidis - cairan sintetis pengganti air yang lebih kental. Dari situ muncul pula solusi berupa dispenser yang memiliki password alias kata sandi. Air dan udara menjadi lebih berharga daripada emas.

Di satu sisi memang ini ide yang menarik mengingat (sepengetahuanku) belum banyak novel yang berbasis futuristik dan berbau lingkungan. Novel ini pun membawa pesan tersendiri untuk lebih aware dengan lingkungan sekitar. Hanya saja, ya, masih terasa sedikit timpang dan berlubang. Aku membaca bagian dimana ayahnya tengah duduk membaca koran (hal. 17); Ardi yang masih bersekolah dengan seragam putih abu-abu (hal. 39); berkendara menggunakan bus dan mobil (hal. 61); menghubungi kakaknya Abimanyu via SMS (hal. 99). Maksudku, jika ada makanan dan minuman sintetis, lalu ada pula dispenser ber-password serta teknologi pemurnian air yang super canggih, hingga akhirnya mesin waktu, mengapa ayahnya bisa membaca koran atau mengapa tidak ada baju sintetis dan kendaraan seperti apa yang layak digunakan saat pasokan oksigen/udara bersih mulai menipis? Bukankah untuk membuat pakaian dan kertas koran membutuhkan pohon, sementara itu pohon di masa tersebut sudah menjadi hal yang mustahil. Hmm, entahlah, mungkin penulis belum sempat menggali lebih dalam.

Ada hal lainnya yang juga cukup mengganggu saat membaca novel ini yaitu time span (rentang waktu). Ada beberapa adegan yang menurutku ambigu. Salah satunya mengenai jadwal masuk sekolah. Di beberapa halaman sebelumnya Ardi sudah bersekolah bahkan sudah melakukan upacara. Namun di halaman berikutnya, sang Ayah masih beranggapan dia masih libur sekolah. Padahal sebelum berangkat sekolah, Ardi berpamitan dulu dengan kedua orangtuanya. Oh, baiklah, langsung saja baca kutipan berikut:

Saat bel berbunyi, kami menggunakan jam pertama dan kedua untuk upacara terakhir bagi kepala sekolah. (hal. 39-40)

Esoknya sepulang sekolah, aku dan Rifqi mengambil jalur bus yang menuju rumahku. (hal. 44)

Mungkin, kita tdak bisa membeli air minum, tak bisa membayar tagihan oksigen, dan kau akan putus sekolah Ardi. Saat ini kau sedang libur, kan? (hal. 53)

Menurutku menulis tentang masa depan memang memerlukan imajinasi yang luas. Kita harus melingkupi beberapa aspek. Respon pembaca pasti beragam. Mereka pasti ikut mencoba membayangkan dunia yang penulis paparkan. Selain beberapa typo yang kutemukan, saranku, sebaiknya penulis berusaha menggali lebih dalam agar tidak terjadi ketimpangan pada isi ceritanya. Pun sepertinya penulis perlu memperbaiki caranya untuk bernarasi karena ada saat aku merasa “ini agak bertele-tele”.

Ya, buku ini memang mencoba memasuki ranah futuristik dan cukup inspiratif meskipun masih banyak detail yang harus diperhatikan. Namun ini adalah Fantasteen. Penulisnya berumur 16 tahun saat buku ini diterbitkan. Well, mampu menerbitkan buku diusia 16 tahun itu (menurutku) patut di-acungi jempol. Lagipula ini buku pertamanya. Aku yakin karyanya selanjutnya akan lebih "manis" dari ini. Dan yang terakhir, buku ini memiliki beberapa kutipan kalimat yang aku sukai dan asik untuk disimak. Aku akan merangkum kutipan tersebut di postingan ini juga, so just enjoy them, fellas. :D  

Rating: (2/5) it was ok
-----------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------

“Sebuah masalah adalah sebuah jurang, Ardi. …. Kau takkan bisa menghindarinya. Jika kau berusaha menghindar dan pura-pura tak tahu, kau akan jatuh. Hal yang harus kau lakukan adalah berusaha melompatinya. Itu soal berhasil atau mati. ….” (hal. 35-36)

Tapi kapan aku akan membuat orang-orang di sekitarku merasa beruntung? (hal. 46)

“Masalah itu ada untuk diselesaikan, bukan untuk dimaki-maki.” (hal. 53)

“Tahu tidak, kenapa kau tidak pernah bisa tersenyum?”
“Karena aku terlalu banyak berpikir.” Air mata mengalir semakin deras dari mataku. (hal. 65-66)

Keadaan Fairuz tak lebih baik dari kemarin. Namun, aku bersyukur karena keadaannya tak menjadi lebih buruk. (hal. 68)

“Kalianlah yang menghibur diri sendiri. Aku cuma sebagai jembatan.”
“Jembatan itu penting, kan?” kataku. (hal. 77)

“Aku ingin sekali membuat dunia tersenyum.” (ha. 78)

“Kurasa, itu lebih dari kewajibanmu. Itu menjadi keinginanmu. Terima kasih banyak.” (hal. 82)

Apa aku tak pernah melakukan sesuatu yang benar? (hal. 95)

Kami hanya sedang membutakan mata kami. Ataukah, memang dunialah yang membutakan? (hal. 96)

Lima menit berlalu, keringat seakan tertawa kepadaku yang sangat kelelahan. (hal. 110)
-----------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------

Submitted to:
FSFD Reading Challenge 2016
Read and Keep Challenge 2016
YA Reading Challenge 2016

Comments

Popular posts from this blog

7 Alasan Memilih dan Membeli Buku Bacaan

[Review] The Silmarillion by J.R.R Tolkien – Sebuah riwayat yang panjang

[Review] Cewek Paling Badung di Sekolah by Enid Blyton – Asal mula Elizabeth dikirim ke Whyteleafe