[Review] Larung by Ayu Utami - Menggugat Tradisi, Seks, hingga Kemelut Orde Baru

“Jika kebetulan terjadi terlalu banyak, seorang ilmuwan akan mencari pola, dan seorang beriman akan mencari Tuhan” - Ayu Utami


Judul: Larung
Pengarang: Ayu Utami
Bahasa: Indonesia
Genre: Roman
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun terbit: November, 2001
Tebal buku: 260 halaman

Larung merupakan dwilogi dari novel Saman karya Ayu Utami. Pada awalnya kedua novel ini direncanakan sebagai sebuah buku berjudul "Laila Tak Mampir di New York". Namun dalam proses pengerjaannya, ada beberapa sub plot yang berkembang. Kini Saman dan Larung merupakan dwilogi yang berdiri sendiri.

Pada Larung, Ayu memakai sudut pandang orang pertama namun menjelma ke dalam tokoh yang berbeda-beda. Pertama, dia menjelma menjadi Larung dan membeberkan segala bentuk pemikiran Larung mengenai berbagai hal. Kemudian Ayu juga menjelma menjadi Cokorda diikuti Laila, Shakuntala, dan Yasmin. Mereka adalah empat serangkai di dalam Saman yang kembali hadir mengisi Larung. Pada bagian akhir, barulah Ayu memakai sudut pandang ketiga, menjelma menjadi narator cerita.

Bagian awal novel ini mengangkat cerita tentang mitos Calon Arang dan murid-muridnya sebagai jalur untuk memahami dan memperkenalkan siapa itu Larung. Diceritakan bahwa Larung adalah seorang cucu yang sangat menyayangi dan disayangi oleh neneknya yang telah berusia 100 tahun lebih. Lebih jauh, menurut Larung, neneknya itu sudah seharusnya mati, tetapi dia tidak mati-mati. Maka Larung memutuskan untuk membunuh atau dengan kata yang lebih halus "mengeuthanasia" neneknya. Hal ini dilakukan lantaran neneknya itu sudah terlalu lama menderita. Bukan hanya karena tidak bisa melakukan apa-apa lagi, namun juga karena ada banyak orang yang membenci neneknya. Ya, secara harfiah, bisa dikatakan bahwa Larung memiliki watak keras dan cenderung kejam.

Melalui novel ini, secara tersirat, Ayu sepertinya ingin mengatakan bahwa perempuan juga memiliki kekuatan serta kecerdasan yang bisa melebihi kaum lelaki. Ketidakadilan gender telah membuat perempuan berada dalam posisi dan penilaian yang serba salah. Perempuan akan dinilai salah dan lemah jika tidak mempunyai ilmu pengetahuan sedikitpun. Perempuan pun menjadi salah pula jika mampu berdiri di atas kakinya sendiri, memiliki kemampuan yang lebih dari laki-laki.

Hal tersebut dapat kita lihat pada tokoh nenek Larung. Dia adalah seorang perempuan yang kuat, pemberontak, dan berani menentukan jalan hidupnya sendiri serta memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan seorang lelaki. Berikut potongan kalimat dari novel Larung ini:

“Namun nenekku berhasil mengusir mereka yang datang lagi untuk mengambil kami semua. Ia mengenyahkan orang-orang yang mengepung hanya dengan berdiri di depan pintu, memandang ke arah laut.”

Senada dengan perkataan Dra. Yuningtyas Endarwati dalam essainya "Saman: Mendobrak Tabu, Mengungkap Kegelapan", -dan hal ini tidak berlaku di Saman saja, melainkan terjadi pula di Larung- bahwa Ayu Utami berusaha mengekplorasi keberadaan perempuan yang pada umumnya merasa tertindas oleh perlakuan suami (laki-laki) maupun tatanan masyarakat patriakis. Bahkan "Larung" pun sebenarnya nama untuk perempuan. Uniknya di dalam novel ini telah dibentuk dalam sosok laki-laki.

“Aku menamaimu Begawan. Tapi namaku sudah Larung. Itu nama perempuan. Namaku Larung Lanang”

Ayu merupakan sastrawan angkatan 2000 yang telah berani mengguncang dunia sastra Indonesia dengan mengangkat dan mengekplorasi seksualitas dengan jelas di dalam karyanya, di dalam sastra. Pada tahun-tahun sebelumnya, seks merupakan barang yang tabu untuk dibicarakan. Namun dengan Ayu, hal tersebut menjadi lumrah dan biasa-biasa saja.

Pelaku-pelaku seks di dalam Larung ini, digambarkan Ayu sebagai orang-orang atau lebih tepatnya perempuan kelas atas yang modern, kaya dan mempunyai kecerdasan intelektual yang tinggi. Para perempuan yang dianggap oleh masyarakat tidak mungkin melakukan perselingkuhan dan permainan seks dimana saja.

Ayu pun sepertinya ingin mengatakan bahwa pada masa ini, kebebasan bersetubuh di luar nikah marak dilakukan. Bahkan seorang Laila, yang sangat berhati-hati sekali menjaga keperawanannya hingga usia 30-an, mulai tergoda untuk melakukan seks dan nyata telah berselingkuh dengan seorang pria beristri.

Selain menggugat tradisi dan mengeksplorasi seks, suasana yang kental diangkat di dalam Larung ini adalah tentang kemelut orde baru. Ditampilkan secara jelas oleh Ayu mengenai kronologi peristiwa penyerbuan pasukan rezim orde baru ke kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996 yang lalu (hal. 173-176). Berikut diangkat pula melodrama penculikan dan pembunuhan misterius oleh para tentara orde baru. Hanya saja di sini, Larung dan beberapa tokoh lainnya serta Saman yang memainkan peranannya sebagai pemberontak yang tertangkap, (hal. 205-259).

Novel sastra yang satu ini sangat kaya kosakata mulai dari istilah-istilah Jawa hingga istilah kedokteran. Namun hal ini juga yang membuat saya mengerenyitkan dahi. Cukup terkejut dengan penggunaan kata-kata yang tidak biasa dan Ayu malah cukup lugas menggunakannya, seperti gerwani, coitus, sintagmtik, dan lain sebagainya. Pilihan kosakata ini pun sedikit membuat saya kebingungan dengan alur cerita. Ya, mungkin hal ini dikarenakan saya belum pernah berkenalan dengan Saman, saya langsung saja meloncat ke Larung.

Terlepas dari hal tersebut, Larung membawa keunikan tersendiri. Misalkan seperti sudut pandang yang berubah-ubah. Cukup jarang menemukan novel dengan gaya demikian. Berikut tentang penggambaran kemelut orde baru dengan setting seputar reformasi Mei 1998 cukup patut diancungkan jempol.

Intinya novel ini menarik dan menggelitik. Berani memaparkan hal-hal yang bersifat kontroversi. Pun gaya bahasa serta sudut pandang yang tidak seperti novel kebanyakan. Selain dwilogi Saman dan Larung, kini Ayu telah menerbitkan beberapa novelnya yang lain seperti Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, Bilangan Fu, Maya, Lalita, dan lain-lain. Dan sepertinya buku-buku tersebut memiliki magnet tersendiri untuk dibaca. Maju terus karya sastra Indonesia.

Rating: (3/5) liked it
P.S.: Ini review ketigaku yang kubuat untuk keperluan tugas Bahasa Indonesia waktu SMA dulu.

Comments

Popular posts from this blog

7 Alasan Memilih dan Membeli Buku Bacaan

[Review] The Silmarillion by J.R.R Tolkien – Sebuah riwayat yang panjang

[Review] Cewek Paling Badung di Sekolah by Enid Blyton – Asal mula Elizabeth dikirim ke Whyteleafe