Review Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan

Warna kelabu yang lebih kelabu dari arti kelabu pada namanya.


Judul: Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu
Seri: Dawuk #1
Penulis: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Marjin Kiri
Terbit: Cetakan kedua, November 2017
Tebal buku: 182 halaman
Format: Paperback
ISBN: 978-979-1260-69-5

Sebab aku suka melihat buku yang tersegel rapat, maka sempat ragu untuk membaca Dawuk. Namun berdasarkan ketentuan yang kubuat sendiri; mencicil timbunan mulai dari halaman yang paling sedikit, sudah waktunya untuk membaca novel setebal 182 halaman ini.

Rasa bersalah sempat muncul mengingat Dawuk telah berdiam hampir empat tahun di lemari buku. Ini “oleh-oleh” untuk diri sendiri ketika berlibur ke Jogja dulu. Pun semakin merasa demikian saat lembar pertamanya tampak menguning dan menempel pada kertas sampul bagian dalam. Syukurlah, tidak robek saat aku coba lepaskan.

Kisah Dawuk dibuka dengan kedatangan Warto Kemplung ke warung kopi. Pria paruh baya ini hobi membual sambil meminta kopi dan rokok gratisan. Kali ini ia berkisah tentang Dawuk. Para pengunjung warung kopi yang hampir semuanya sudah muak dengan Warto, menjadi tertarik menyimak.

Dawuk dikisahkan sebagai seorang pria buruk rupa. Ibunya meninggal dan Bapaknya menelantarkannya. Penduduk Rumbuk Randu menjauhi Dawuk karena rupa wajahnya. Ditambah desas desus buruk tentang tingkah Dawuk yang entah bermula dari mana. Sejak kecil ia terbiasa dengan kesendirian dan sepi.Hidup sebatang kara membuatnya tumbuh bagai kucing tanpa induk menjadi anjing liar tanpa tuan (hlm.21).

Seumur hidupnya hanya ada dua orang yang mencintai Dawuk: Mbah Dulawi (kakeknya) dan Inayatun (istrinya). Mbah Dulawi suatu kali menghilang entah kemana. Inayatun sendiri adalah karakter kedua yang melengkapi kisah kelabu yang sedang Warto Kemplung ceritakan tadi di warung kopi.

Inayatun kebalikan dari Dawuk. Rupanya elok bukan main. Ayah dan ibunya terpandang. Sayang, ia tidak tumbuh memiliki perilaku sebagaimana yang diharapkan. Bagaimana bisa akhirnya Dawuk menikah dengan Inayatun si Kembang Desa Rumbuk Randu? Lalu bagaimana reaksi penduduk desa saat mereka memutuskan menetap di sana?

“Kalau Bapak tak memberi kami kamar di rumah ini, atau secebak tanah untuk kami tinggali, kami bisa menggelar tikar di depan masjid atau pasang tenda di beranda balai desa,” kata Inayatun, bersungguh-sungguh. - hlm.47

Sebagai sebuah novel sastra, Dawuk enak dibaca. Menurutku Mahfud Ikhwan sangat lincah bercerita. Bahasanya tidak sepenuhnya lugas, namun masih sangat bisa diikuti. Novel ini memiliki desain sampul yang menarik dan pilihan warna yang bagus. Tertulis juga di sana kalau Dawuk merupakan pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 lalu.

Lebih jauh, menurutku Dawuk merupakan novel yang “kaya”. Di novel ini pembaca bisa menemukan kearifan lokal, isu sosial bahkan bukan hanya drama saja melainkan juga humor dan laga.

Kearifan lokal sudah tergambar dari kehidupan desa penduduk Rumbuk Randu dan beberapa sisipan kata dalam bahasa Jawa. Sementara isu sosial yang diangkat lumayan banyak diantaranya tentang main hakim sendiri, pengucilan, illegal logging, pekerjaan TKI di negeri tetangga, dsb. Isu sosial dalam balutan suasana desa yang menuju modernisasi dijalin dengan baik sehingga membuat pembaca betah menikmati novel ini.

Lebih lanjut, isu sosial tersebut menjadi inti masalah atau konflik yang mewarnai kisah di novel Dawuk. Beberapa bagian terasa miris, mencekam, penuh laga hingga ada pula yang membuat pembaca geram. Ya, sedikit banyak novel ini tampak berusaha menyentuh nurani pembaca sekaligus mempertanyakan kelogisan yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

“...karena sejak kecil ia begitu kumuh, kumal, tak terawat, orang mengejeknya sebagai “dawuk”, sebutan yang biasanya dipakai orang Rumbuk Randu untuk menyebut kambing berbulu kelabu.”-hlm.19

Dawuk secara tidak langsung bisa berarti kelabu. Ini memang kisah yang kelabu--membikin sedih dan miris. Namun kesedihan tersebut tidak ditampilkan secara monoton. Beberapa bagian kisah diselingi romantisme serta humor (menurutku) melalui dendang lagu India.

Singkatnya, Dawuk merupakan novel yang membekas di benak. Rasanya tidak perlu ragu untuk menikmati kelincahan Mahfud Ikhwan bercerita. Ada plot twist di akhir kisah yang membuatku sedikit kebingungan, sih untuk mencernanya, haha. Boleh jadi jawabannya bisa ditemukan saat membaca buku selanjutnya yang (sepertinya) membahas tentang Warto Kemplung berjudul Anwar Tohari Mencari Mati: Sebuah Novel. Iya, Dawuk ini menjadi serial rupanya. :D

Rating: 4.7/5 (really liked it)
Serial Dawuk karya Mahfud Ikhwan:
#1 Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu
#2 Anwar Tohari Mencari Mati: Sebuah Novel

Kutipan menarik dari novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu

“Jika pun aku punya seribu alasan, aku tak akan membunuhmu.” - hlm.43

Dan dari Inayatun, diakui atau tidak, mereka belajar menjadi perempuan yang lebih bahagia, lebih bangga atas dirinya. - hlm.53

Kebahagiaan itu bagai secangkir kopi. Cepat atau lambat, ia akan habis. hlm.57

Mat Dawuk harus mati lebih karena ia lelaki berwajah buruk yang menikahi perempuan tercantik yang pernah lahir di Rumbuk Randu. - hlm.103

Dan, sebenarnya, sejak mereka mengabaikannya saat ia kecil, mereka memang tak pernah benar-benar tahu apa yang dilakukannya kecuali sekadar mendengarnya. - hlm. 152

Comments

  1. Sepertinya rekomendasi sekali untuk dibaca, aku senang kalau penggambaran karakter novel kuat dan didukung dengan narasi dan isu sosial yang relatable.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mas. Rekomendasi utamanya terlihat dari status Dawuk sebagai pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2017. Silakan dicoba buat bacaan di waktu luang.

      Delete
  2. Aku suka model buku sastra begini mba. Baca reviewnya, tertarik sih, temanya ga biasa juga. Dan honestly blm pernah baca buku2nya makhfud Ikhwan. Tapi dari beberapa potongan quote di atas, rasanya aku masih bisa nyaman baca buku ini, melihat diksinya. Mau coba cari buku ini, semoga bisa dapet 2-2 nya, biar ga berasa gantung :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihi silakan kak Fanny. Ada action alias adegan laga-nya sedikit. Ini juga novel pertama dari Mahfud Ikhwan yang pernah kubaca. Diksinya tidak membulet ataupun membingungkan. Aku pun penasaran nih sama si Anwar Tohari. :D

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

7 Alasan Memilih dan Membeli Buku Bacaan

[Review] The Silmarillion by J.R.R Tolkien – Sebuah riwayat yang panjang

[Review] Cewek Paling Badung di Sekolah by Enid Blyton – Asal mula Elizabeth dikirim ke Whyteleafe