[Review] The Golem and The Jinni by Helene Wecker
"Kau
akan belajar menilai orang dari tindakan mereka, bukan pikiran mereka.” – Rabi
Meyer
Judul
Asli: The Golem and the Jinni
Judul
Terjemahan: Sang Golem dan Sang Jin
Pengarang:
Helene
Wecker
Alih Bahasa: Lulu Fitri Rahman
Editor: Primadonna Angela
Desain sampul: @ibgwiraga
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Terbit:
Cetakan pertama, 2015
Tebal
buku: 664 halaman
Format:
Paperback
ISBN:
978-602-03-1425-9
Novel ini membiusku melalui judul dan
desain sampulnya. Ada siluet perempuan dengan paduan warna biru dan hitam.
Sampul depannya terdiri dari dua lembar; satu tipis dan satunya lebih tebal.
Judulnya juga turut mengundang penasaran. Golem yang kuketahui biasanya
berwujud raksasa terbuat dari tumpukan batu bulat-bulat membentuk badan
manusia. Tenaganya kuat dan punya daya hancur yang dahsyat. Biasanya digunakan
pada situasi perang. Sementara Jin yang dalam judul aslinya disebut “jinni”,
mengingatkanku dengan jin cantik dan seksi yang tayang di sinetron televisi sewaktu
aku masih sekolah dulu: Jinny oh Jinny. Intinya, asumsi di benakku Golem lebih
maskulin daripada Jin. Ternyata gender mereka berkebalikan di novel ini.
Chava adalah Golem berwujud perempuan
cantik yang harus kehilangan tuan sekaligus suaminya saat berlayar menyebrangi
lautan menuju Amerika. Usinya baru dua hari dan dia seperti anak-anak yang mau
tidak mau berusaha menyesuaikan diri di tengah kerasnya kehidupan di Dunia
Baru. Sementara Ahmad adalah jin cerdas dan kuat (termasuk tampan dan memiliki skill mumpuni) yang terkurung di dalam
sebuah guci tembaga selama hampir seribu tahun. Dia tidak sengaja dibebaskan
oleh seorang tukang patri bernama Arbeely. Keinginannya untuk mengembara dan
memuaskan rasa ingin tahu terhalang oleh gelang besi yang mengikat wujud
aslinya berikut sebagian besar kekuatannya dalam tubuh manusia.
Bagian pertama buku ini bercerita
tentang asal usul Chava dan Ahmad. Bagian Chava terbilang singkat karena fokus
penulis tampaknya lebih kepada perkembangan jiwa Chava dan pengalamannya
beradaptasi di lingkungan manusia. Sembari bercerita tentang Chava dan Rabi
yang mendidiknya, serta bagaimana Ahmad menyesuaikan diri menjadi pegawai
Arbeely, menjelang akhir setiap bab, pembaca disuguhkan kisah asal usul Ahmad.
Kehidupan dan aktivitasnya ketika masih berwujud jin di gurun pasir Suriah hingga
nanti penyebab dia akhirnya terkurung di dalam guci selama berabad-abad. Di
bagian ini, cerita tentang asal usul Ahmad sangat mengundang rasa penasaran.
Saat Chava dan Ahmad akhirnya bertemu,
fokus cerita kurasakan lebih seimbang. Chava dengan pergolakan batinnya yang
berusaha terus berhati-hati menyembunyikan jati diri dan Ahmad yang
berkebalikan dan berusaha menemukan kesempatan untuk menjadi dirinya yang dulu,
membuat mereka tampak tidak cocok dan sering bertengkar. Namun mereka terus
bertemu dan saling menantikan pertemuan mereka. Ya, konflik sebenarnya tidak
berhenti di sana melainkan dimulai saat seseorang yang terkait dengan masa lalu
mereka datang dan mengancam kehidupan mereka berdua.
Selain sang Jin dan sang Golem tentu
saja ada karakter lainnya yang terlibat, mengingat penulis mengangkat kawasan Little Syiria di
New York dan Manhattan di tahun 1890-an menjadi latar kisah ini. Gambaran
mengenai kawasan tersebut dan masyarakat yang mendiaminya memunculkan beberapa
karakter tambahan. Dan tentu saja, buku setebal 600 halaman lebih ini akan
membosankan jika hanya tentang mereka berdua. Semua karakter tambahan yang
muncul menurutku tidak disia-siakan. Mereka memiliki peran masing-masing yang
saling terjalin dan tampak lebih jelas terutama ketika memasuki beberapa bab
terakhir. Helene tampaknya sangat hati-hati dalam menulis novel debutnya ini
dan memperhatikan setiap detail yang diciptakannya.
Hal lain yang kutemukan saat membaca novel
ini adalah perihal kebudayaan dan sedikit tentang agama. Beberapa deskripsi
tentang kehidupan di daerah Timur Tengah dan cerita setempat mengenai jin dan
gangguannya terasa dekat. Maksudku, beberapa kisah tentang hal tersebut pernah
kudengar saat kecil. Sementara itu, perbedaan agama tidak dijadikan sebagai
konflik atau fokus cerita melainkan pelengkap. Yang menjadi konfliknya adalah
keyakinan diri masing-masing terhadap agama itu sendiri. Aku ingin membahas
topik ini lebih jauh. Aku merasa ada sesuatu yang ingin penulis sampaikan
melalui keberagaman yang ia tampilkan di novel ini. Aku merasakan ada “sesuatu”
namun tampaknya aku memiliki keterbatasan wawasan dan kemampuan untuk
mengungkapkannya.
“…Dan
kadang-kadang para wanita juga harus bisa mengerjakan urusan pria. Jika ada
tenda yang roboh tertiup angin, tangan wanita harus bisa mengangkatnya
sebagaimana tangan pria. Dan kalau pindah perkemahan, kami semua harus bekerja
sama.”-hlm.200
“Manusia
tidak perlu alasan untuk berbuat jahat, hanya dalih!”-hlm.252
Secara keseluruhan aku menyukai novel
ini. Mungkin terasa lambat, namun membentuk watak dari Golem yang baru
dihidupkan lalu terlunta di New York dengan kemampuannya membaca pikiran dan
keterbatasan dalam mengendalikan diri sendiri terasa wajar menghabiskan sekian
halaman. Begitu pula tentang peralihan kehidupan Ahmad yang sejatinya memiliki
jiwa pengembara lalu terkurung kemudian hidup dalam kondisi dibatasi tentu akan
menciptakan konflik dan pemberontakan tersendiri. Ditambah pula dengan
peran-peran karakter lainnya yang tidak diabaikan begitu saja setelah
kemunculannya tentu akan mendapatkan jatah halamannya. Justeru menurutku
pengembangan karakter di dalam novel ini berikut detail-detail yang “lambat”
itu yang membuat novel ini menarik.
Bacalah dengan tidak terburu-buru. Mengingat pula akan ketebalan dan ukuran buku, lebih baik dibaca saat memiliki banyak waktu luang. Membaca kisah the Golem and the Jinni ini ibarat mengunyah makanan dengan perlahan sesuai anjuran pakar kesehatan sambil menikmati tiap suapannya. Tidak mengecewakan. Oh, ya, jangan berharap ini kisah percintaan. Bukan. Ini adalah kisah tentang kehidupan.
Bacalah dengan tidak terburu-buru. Mengingat pula akan ketebalan dan ukuran buku, lebih baik dibaca saat memiliki banyak waktu luang. Membaca kisah the Golem and the Jinni ini ibarat mengunyah makanan dengan perlahan sesuai anjuran pakar kesehatan sambil menikmati tiap suapannya. Tidak mengecewakan. Oh, ya, jangan berharap ini kisah percintaan. Bukan. Ini adalah kisah tentang kehidupan.
Rating:
4/5 (really liked it)
Toss, saya juga suka novel ini. Bagian paling favorit adalah ketika jalinan misterinya terungkap,. Oh ya, menurut Goodreads, buku ini berseri, jadi penasaran pengin baca lanjutannya XD.
ReplyDeleteSetuju! Ah, baru tahu kalau ada lanjutannya. Buru-buru cek Goodreads, diperkirakan terbit 2021 nanti, kan, ya. Pengen banget baca lanjutannya. :D
DeleteWah... 600 halaman tapi kalau suka baca buku, nggak akan terasa tebel. Malah kadang kurang tebel😂.
ReplyDeleteKetika cerita selesai, jadi penasaran ada kelanjutannya nggak ya?
Btw, saya suka genre fantasi gini...😍
Untuk buku ini, judul sama sampulnya menarik. Jadi lupa kalau ini lumayan tebal, haha. Pastinya, penasaran banget, semoga aja bisa baca lanjutannya nanti. Sama, aku lumayan suka baca genre fantasi. :D
DeleteSaya bukan orang yang hobi membaca buku fiksi. Setelah baca ulasan buku ini. Sungguh ada rasa penasaran. Mengingat terdapat latar belakang cerita seakan-akan dilokasi tertentu. Kalo sudah 600 halaman, suka mikir lagi aku tuh untuk baca. Kamu sungguh hebat, bisa bacanya.
ReplyDeleteTerimakasih. Kalau ketemu buku yang menarik, mau tebal atau tipis, langsung saja dibaca, kak. Fokus ke alur ceritanya saja bukan ke jumlah halamannya. Dan tidak perlu terburu-buru saat baca. Mungkin dengan begitu, gak bakal terasa sudah membaca 600an halaman, misalnya. :)
Deletemakasih reviewnya
ReplyDeleteSama-sama , kak. Semoga bermanfaat. :)
Delete