[Review] Reruntuhan Musim Dingin by Sungging Raga – Kisah cinta dalam balutan sastra
“Tidak mungkin seseorang tega
meninggalkan kekasihnya di tempat ini tanpa harapan, tanpa kepastian.”
Judul: Reruntuhan
Musim Dingin
Pengarang: Sungging Raga
Penerbit: Diva Press
Terbit: Januari, 2016
Tebal buku: 204 halaman
Format: Paperback
Genre: Romance
ISBN:
978-602-391-079-3
Buku ini sampai
di rumahku di Jumat pagi. Pak pos yang baik hatinya dan ramah harus repot memutar
karena aku memintanya mengantar paket tersebut lewat pintu samping rumah. Pintu
depan jarang dibuka, jadinya agak susah, hehe. Paketnya terbungkus rapi meski
alamatnya agak keliru sedikit. Di sana tertulis Jalan Amangkurat No. 19. Seharusnya
itu bukan nomor jalan, melainkan nomor rumah, hehe. Tapi, akhirnya paketnya
sampai juga. Bukunya masih bersegel ketika kubuka. Terimakasih buat panitia (?)
Blog tour dan Giveaway Reruntuhan Musim Dingin, aku berkesempatan dapat buntelannya. Yee… :D
Putih.
Warna itu mendominasi sampul kumpulan cerpen (kumcer) ini. Begitupula dengan
warna bookmark bonus dari buku ini. Bicara
soal kumcer, ini kumcer keempat yang telah kubaca dan koleksi. Salah satu
kumcer yang kupunya itu adalah Kisah-kisah Tengah Malam, seri klasik kepunyaan Edgar Allan Poe. Pastinya jauh berbeda
dengan kumcer yang barusan kubaca ini. Bukan, bukan hanya beda warna covernya,
tema yang diangkat juga nuansa yang ditampilkan berbeda. Namun balik ke cover
buku ini, bisa kurelasikan dengan judulnya sehingga mengambil warna putih dan
ada gambar salju yang menumpuk. Hanya saja aku penasaran mengapa keranjang itu
berisi permen? Mengapa keranjangnya bukan berisi bunga atau buah? Hayo, apa
kalian penasaran juga. Yuk lanjut menyimak, hehe. :D
Di bagian
awal buku, kita tidak langsung disuguhi oleh sebuah cerita. Ada beberapa kata
pengantar yang juga kubaca sebelum masuk ke cerpen pertama. Dari pengantar
tersebut menguar aroma sastra. Apa yang bisa kukatakan tentang sastra? Ketika
membaca atau mendengar kata itu, benakku terhubung kepada sejumlah nama-nama.
Hamka, Marah Rusli, Seno Gumira, Djenar Maesa Ayu, aku mengelompokkan karya
mereka ke dalam sastra. Aku pun teringat satu majalah bernama Horizon yang
banyak berisi kumpulan puisi. Semua ingatan ini terbungkus dalam rak-rak kayu,
dan bau khas ruang perpustakaan. Aku melihat dan membaca mereka dulu di jaman
sekolah. Namun tidak akhir-akhir ini. Saat ini aku lebih sering membaca novel
terjemahan.
Sastra
(dalam definisiku yang begitu sederhana) adalah prosa namun bahasanya halus
serta memutar seperti puisi. Dalam suatu karya sastra aku menemukan kehalusan,
kedalaman, hingga kenekatan dan keliaran. Sepertinya aku setuju dengan kutipan
mengenai sastra menurut Sutardji Calzoum Bachri: sastra adalah upaya pembebasan
kata dari makna. Di dalam sastra, makna kata menjadi luas, mengembang,
sekaligus mendalam, tanpa batasan. Kata-kata itu seolah hidup dan menyentuh
sudut-sudut yang tak kasat mata. Membaca sastra biasanya berujung kepada
mendapatkan suasana hati yang baru. Ada kelegaan dan bisa pula ada kepedihan
yang menyisip. Haha, sudahlah, aku tidak pandai juga dalam sastra. Mari kita
nikmati saja karya-karya sastra anak negeri ini, salah satunya kumpulan cerpen
yang telah selesai kubaca ini. :D
Ada 22
kisah yang terangkum di buku ini. Masing-masing kisah memiliki alurnya sendiri
dan tidak saling tumpang tindih. Meski demikian, antara cerpen yang satu dan
lainnya bisa kita tarik benang merahnya. Bisa dikatakan semua cerpen tersebut
berbicara tentang cinta. Namun cinta-cinta tersebut memiliki wujud
sendiri-sendiri. Ada yang mewakili kesedihan atau tragedi dalam cinta, ada juga
yang mewakili harapan, kerinduan, dan ke-universal-an cinta. Alurnya mengalir
mulus. Ada beberapa cerpen yang bisa tertebak ending-nya, namun ada pula yang ending-nya
dipelintir sedemikian rupa, menyisakan ketidaknyamanan di hati. Contoh yang memelintir
hatiku adalah cerpen ketiga yang berjudul “Melankolia Laba-laba. Cerpen ini berakhir
ke arah yang tidak kusangka dan menyisakan kegeraman terhadap kebodohan
tokohnya setelah di bagian awal aku bersimpati dengan tulus, haha. (-__-)
Selain
mengenai alur dan ending yang penuh
dengan twist tak terkira, ada
ke-khas-an lain yang menyertai kumcer ini yaitu perihal unsur alam dan
nama-nama tokoh. Jika bisa aku memilah-milah atau mengelompokkan cerpen di
dalam buku ini, aku bisa mengelompokkan mereka berdasarkan unsur alam dan/atau
berdasarkan nama tokoh yang dipakai. Penulis buku ini sering memasukkan unsur
alam semisal sungai, pepohonan, pantai, gunung, dsb. Namun akan sangat banyak
kategorinya. Oleh karena itu unsur alam ini bisa disingkat menjadi dua saja;
pertama, cerpen yang berisi kisah cinta normal antara manusia dan manusia
lainnya, lalu kedua, beberapa cerpen lainnya yang mengandung kisah cinta antara
manusia dan alam. Tidak perlu heran, penulisnya memiliki imajinasi yang sangat
luas. Dia menuliskan cinta seekor laba-laba kepada manusia (Melankolia
Laba-laba); dan ada pula kisah cinta sungai yang menjelma menjadi seorang gadis
manis nan ayu dengan seorang lelaki manusia (Rayuan Sungai Serayu).
Meski
demikian, aku lebih suka mengelompokkan cerpen-cerpen ini berdasarkan nama para
tokohnya. Haha, penulisnya sangat irit dalam memilih nama tokoh. Dan ada satu
nama yang dipakai berulang-ulang. Ada yang tahu? Ya, nama itu adalah Nalea. Aku
membaca namanya pertama kali pada cerpen ketiga. Namun kemudian aku menjadi
heran saat nama Nalea muncul lagi dalam cerpen kelima, keenam, ketujuh, dsb.
Haha, siapa, sih Nalea ini? Mungkin penjelasan absurd dan menggelikan bisa kita
dapatkan di pertengahan buku, pada cerpen kesembilan yang berjudul “Sepasang
Semut dan Gadis Kecil yang Sedih”.
“Saya bekerja sebagai sekretaris di sebuah
perusahaan seluler. Kadang juga bekerja sampingan sebagai tokoh cerita pendek.”
(Nalea, hal. 93)
Dan
mengenai alasan penulis buku ini begitu irit dalam memilih nama tokoh, boleh
jadi bisa kita temukan di cerpen keenambelas yang berjudul Biografi Kunnaila.
Gadis itu bernama Kunnaila…. Sebenarnya
tidak penting penyebutan nama karena tidak berpengaruh pada jalan cerita secara
keseluruhan. (hal. 158)
Dari
keseluruhan cerpen di buku ini, ada beberapa yang menarik dan membekas di
hatiku. Mari, akan kubahas satu per satu. Pertama, cerpen diurutan kelima yang
berjudul “Untuk Seseorang yang Kepadanya Rembulan Menangis”. Di kisah ini,
cinta diceritakan dengan sangat imajinatif, cukup magis dan diiringi dengan
secuil teknologi modern. Cerpen ini menyisakan pertanyaan mengenai keberadaan seorang
gadis berbaju merah yang ditangisi oleh rembulan. Cerpen ini menjadi liar saat
semua berbondong-bondong pergi ke bulan demi melihat si gadis yang memang hanya
bisa terlihat dari bulan saja.
“Rembulan terus menangis sepanjang malam ini, bahkan ia juga sesenggukan, suara sesenggukan itu pun bisa terdengar
kalau kita naik ke tempat tinggi yang cukup sepi, di bukit St. Andrews
misalnya.” (hal. 57)
Berikutnya,
aku menyukai cerpen kedelapan yang berjudul “Rayuan Sungai Serayu”. Bayangkan,
sebuah sungai yang bosan menjadi sungai lalu menjelma menjadi manusia, wanita.
Dia pun memulai “petualangan”nya berkeliling kota Solo bersama seorang pemuda
manusia yang ditemuinya di Warung Hujan Bulan Juni. Kisah ini berujung kepada
pemuda itu yang akhirnya takluk kepada rayuan si manusia jelmaan sungai. Dan
memang, terkadang sastra membawa kita menerima bahkan menikmati suatu
kemustahilan. Cerpen ini yang terasa manis-manis absurd pun membekas di
benakku.
“Baiklah, anggap saja kita memang perlu
menanyakan semua itu, tetapi tak perlu menunggu jawabannya.” (hal. 82)
Selanjutnya,
aku menyukai “Abnormaphobia”. Cerpen yang bercerita tentang seorang perempuan
bernama Nalea yang kehilangan rasa takut. Dia tidak lagi mempunyai rasa takut,
bahkan terhadap hal yang dulu ditakutinya. Dia pun lalu berkonsultasi kepada
seorang psikiater. Cerpen ini mengalir santai, sedikit liar (makan kecoa yang
terasa seperti tempe bacem). Namun ending-nya
lah yang membuat aku terdiam dan sedikit merinding. Kebetulan aku membacanya
malam hari saat suasana rumah sudah hening dan sepi.
“Saya takut tidak bisa merasakan ketakutan
lagi sama sekali.” (hal. 89)
“Lovelornia”
adalah cerpen berikutnya yang kusukai. Aku larut di dalam kisahnya. Dan saat
selesai membacanya, aku refleks membekap mulutku sendiri sementara air hampir
jatuh dari mataku. Kisahnya sederhana, tentang keabadian kisah cinta seorang
kakek dan nenek. Kesederhanaan tersebut dipoles dengan keajaiban mengenai
hubungan mereka yang begitu awet bahkan hingga mereka setua itu. Kisah ini
dituturkan melalui ocehan si kakek tentang hubungan mereka yang seperti tak
lekang oleh waktu, membuatku bertanya-tanya kemanakah kisah ini akan dibawa.
Namun di bagian akhir, bisa kusimpulkan bila kisah ini boleh jadi suatu wujud
dari cinta yang tulus tapi juga diselubungi oleh kebohongan. Duh, keromantisan
kakek dan nenek ini (terutama si Kakek) mengingatkanku dengan lagu berjudul Dear Bobbie yang dinyanyikan oleh
Yellowcards, hiks.
“Kalau kita mati, mungkin saat itulah cinta
kita berakhir.” (hal. 138)
Satu cerpen
terakhir yang kusukai berjudul Ole Fislip Sudah Mati. Cerpen ini bercerita
mengenai kematian seorang gelandangan. Seketika kematiannya menjadi begitu
heboh. Media meliput dan semua orang ikut larut dalam kematiannya. Yang
menjadikan cerpen ini menarik adalah cara penulis menyampaikan kisah ini. Ada
banyak sindiran-sindiran tajam di dalamnya. Membacanya benar-benar menarik.
Cobalah, :D
“Hasil autopsi sementara, kami menemukan
tanda-tanda kekerasan yang kemungkinan besar dilakukan oleh kehidupan kota ini
di tubuh Ole Fislip.” (hal. 180)
Ah, okay,
kembali ke sekeranjang permen di cover buku ini. Salah satu cerpen berjudul Reruntuhan Musim Dingin berada
pada urutan keenam (urutan di daftar isi). Keranjang permen itu mewakili sosok
Nalea (lagi-lagi Nalea, hihi), seorang gadis penjual permen di London. Ada
seorang penulis yang membuatnya jatuh cinta. Ah, mereka saling mencintai. Namun
kisah ini lebih kepada cinta yang tak terungkap. Waktu pun berlalu, menggerus
perasaan cinta itu. Iya, cinta memang perlu diikuti dengan tindakan, hehe.
Okay, aku menikmati suguhan 22 cerpen yang dikemas dalam Reruntuhan Musim Dingin ini. Jika sebelumnya kukatakan bahwa ada banyak
ke-khas-an yang kutemukan, termasuk pula ke dalamnya, kutipan. Di banyak
cerpennya di buku ini, penulis sering menyisipkan kutipan dari lirik lagu. Lebih
lanjut, menikmati sastra diantara TBR fiksi lainnya membawa suasana berbeda dan
sedikit mencerahkan. Ada banyak sekali kalimat yang menarik. Hampir bisa
ditemukan di setiap cerpen. Rasanya terlalu banyak, jadi kuputuskan tidak akan
membuat postingan khusus atau menuliskannya di bawah review ini (seperti yang
biasa kulakukan). Bagi yang penasaran, silakan langsung baca buku ini dan
langsung rasakan sensasinya. Pasti lebih berasa karena suasananya akan lebih
terbangun.
Rating: (3/5) liked it
Submitted to:
Comments
Post a Comment