[Review] Seraphina by Rachel Hartman – Cerita tentang Naga dengan pendekatan yang berbeda
Apa pun yang terjadi, sudah terjadi. Aku
telah berdamai dengan masa lalu dan dengan masa depan. Lakukanlah apa yang
menurutmu harus kau lakukan, dan jangan takut. - Papa
Sumber |
Judul: Seraphina
Seri: Seraphina #1
Pengarang: Rachel Hartman
Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama
Tahun terbit: Mei, 2013
Tebal buku: 544
halaman
Format: Paperback
Genre: Fantasy, Young
Adult
ISBN:
978-979-22-9621-1
Warna
cokelat muda atau krem kekuningan mendominasi cover buku ini mengingatkanku
dengan cover novel (yang juga terbitan Gramedia) berjudul A Tree Grows in Brooklyn karya Betty Smith. Hanya sebatas nuansa
warna bukan ilustrasinya. Bicara soal ilustrasi sampulnya, ada siluet gambar
kerajaan lalu dua buah naga terbang. Ez sempat tertarik melihat lebih rinci
naga di sampul Seraphina ini dan dia bilang ini terlihat seperti Wyvern, jenis
naga di dataran Eropa sana. Well,
entahlah, mungkin saja karena aku tidak terlalu paham bedanya, haha.
Namun satu
hal yang membuatku menarik buku ini dari tumpukan di toko buku adalah judulnya:
Seraphina. Seolah ada sesuatu di otakku yang mengaitkannya dengan dongeng si
peniup seruling. Ya, kebetulan pula di sinopsis yang kubaca di sampul belakang
buku ini, Seraphina mahir memainkan seruling. Dongeng yang kumaksudkan itu
adalah dongeng yang bercerita tentang seorang anak memainkan seruling lalu di
belakangnya ada tikus-tikus mengikutinya seolah terhipnotis. Haha, aku lupa
judul dan detail kisahnya. Aku juga lagi males, nih, untuk ngubek-ngubek Google
mencari dongeng yang kusebutkan itu. Tapi, begitulah kira-kira awal perjumpaan
aku dengan buku ini, haha. #iniapasih
Novel
setebal 544 halaman ini berhasil kutamatkan selama dua hari. Kebetulan hari itu
aku lagi tidak banyak kegiatan dan weekend. Jika dibilang karena kisahnya mudah
dicerna dan kita mudah larut di dalam ceritanya, hmm, mungkin tidak juga.
Memang ini kisah fantasi yang menyenangkan dan ide ceritanya menarik. Jika
dibandingkan dengan The Silmarillion,
Seraphina ini jauh lebih sederhana, pun tokoh-tokoh di dalamnya tidak banyak.
Hanya saja beberapa kali keningku berkerut, kebingungan mengenai POV-nya. Ini
bagian siapa yang bicara? Atau, ini maksudnya apa. Butuh sedikit usaha untuk
beradaptasi dengan kisahnya. Apalagi setting-nya
“tempoe doeloe” gitu. Zaman kerajaan dan masih menggunakan penerangan lilin dan
naik kuda atau kereta kuda. Namun secara keseluruhan, aku cukup menyukai
kisahnya.
Seraphina
Dombegh sudah jelas merupakan tokoh utama dari kisah ini. Dia terlihat seperti
gadis biasa, namun sebenarnya tidak. Dia sangat berbakat dan bekerja sebagai asisten
Viridius, penanggung jawab musik di istana Goredd. Perlu diketahui bahwa
Seraphina hidup di masa ketika naga dan manusia hidup berdampingan. Konsep naga
di sini jauh berbeda dengan naga di kisah lainnya (setidaknya dari beberapa kisah
yang pernah kubaca, hehe).
Sudah 40
tahun berlalu sejak Naga dan manusia menandatangi perjanjian damai. Kaum naga
dan manusia saling bertukar ilmu pengetahuan. Naga sangat piawai dalam ilmu
hitung dan ilmu lainnya yang bersifat fakta. Ibarat sebuah otak, naga begitu
menggunakan otak kirinya dan berpikir begitu rasional. Mereka menekan emosi
yang mereka miliki sejauh-jauhnya sehingga mereka sangat awam dengan yang
namanya emosi dan kesopanan. Kedua kaum ini saling bertukar informasi. Naga
mempelajari musik yang manusia buat dan hal lainnya yang membuat naga tertarik.
Naga
memiliki bahasa sendiri disebut bahasa Motya. Hanya naga dan keturunannya yang
mengerti akan bahasa ini. Oleh karena naga lebih pintar dari segi ilmu
pengetahuan, termasuk memahami bahasa manusia, maka untuk berbaur (dan sesuai
dengan isi perjanjian damai), ketika di hadapan manusia, kaum naga tidak
menggunakan wujud aslinya. Mereka menggunakan wujud manusia dan memakai lonceng
di bahu sebagai pertanda bahwa mereka sebenarnya adalah naga. Wujud ini
dinamakan saarantas (disingkat saar). Inilah salah satu pendekatan yang
kubilang berbeda. Umumnya (dari kisah-kisah yang sudah pernah kusimak, sih)
naga tidak bisa berubah wujud menjadi manusia. Mereka berbicara seperti bahasa
manusia dan tetap dalam wujud aslinya (bersayap, menyeramkan, dll). Di sini
naganya lebih banyak dalam wujud manusia dan hanya beberapa kali ditampilkan
dalam wujud asli.
Lanjut
cerita, menjelang peringatan ke-40 tahun perjanjian damai antara manusia dan
naga, terjadi insiden yang tidak diinginkan. Putra Mahkota kerajaan Goredd,
Pangeran Rufus, dibunuh secara kejam. Caranya dibunuh mirip dengan cara seekor
naga yang melakukannya. Beberapa kericuhan mulai timbul dan putra-putra St.
Ordo mulai memusuhi para saar dan terang-terangan membuat rusuh. Seraphina pun
terlibat membantu Pangeran Lucian Kiggs dalam menyelesaikan kasus ini tanpa
menyadari bahwa Seraphina mempunyai rahasia yang mengerikan dan bisa
membahayakan dirinya sendiri.
Secara ide
cerita, ini kisah fantasi yang menarik digabung dengan deretan tokohnya yang
masih belia. Hanya saja ada beberapa bagian yang masih belum membuatku puas.
Misalnya tentang kematian Pangeran Rufus. Seingatku, hingga di halaman akhir,
tidak ada kejelasan mengenai kronologisnya. Hanya dugaan dari Seraphina dan
Pangeran Lucian. Memang, sih, buku ini memakai sudut pandang orang pertama
(aku) yaitu dari sisi Seraphina-nya. Meski begitu aku masih merasa greget tidak
puas, haha. begitu pula dengan kisah cinta yang dialami Seraphina yang sudah
bisa ditebak. Meski agak complicated juga, sih, mengingat Putri Glisselda
(tunangan Pangeran yang Seraphina sukai) termasuk protagonis di sini. Dan, ah, aku merasa simpati
dengan sang Putri saat membaca adegan terakhir buku ini.
Salah satu
ciri khas lainnya dari buku ini adalah musik. Seperti halnya Seraphina yang
mahir memainkan seruling, dan ayahnya juga yang ternyata pandai bernyanyi,
musik memainkan peran penting di kisah ini. Dari informasi di belakang buku,
penulisnya memang menggemari musik dan bahkan dia bisa memainkan cello. Tidak
heran, musik menjadi inspirasi penulisannya. Dan ini karya pertamanya pula.
Banyak yang terkesan dengan karya perdananya ini.
Ya,
terlepas dari kenyamanan dan ketidaknyamanan selama membaca kisah ini, aku
masih mau membaca seri keduanya yaitu Shadow Scale. Beberapa orang (kubaca di Goodreads) mengeluh karena ada jarak dua
tahun dari seri pertama dan seri kedua. Mereka banyak yang sudah lupa dengan
para tokoh dan kisah di seri pertama ini, padahal dulu mereka menyukai
kisahnya. Menurutku, itu menandakan sesuatu kalau kisah ini tidak terlalu
mengesankan mereka. Dan selang dua tahun kisahnya meredup di benak mereka.
Namun banyak juga yang memberi respon postif. Lalu, kapankah aku bisa membaca Shadow Scale? Apakah aku akan melupakan
kisahmu, Seraphina? Hahaha, oke, ini penutup review yang aneh. #lupakan :D
Rating: (3/5) liked it
Submitted to:
---------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
Oke,
seperti biasa, aku akan mencoba menampilkan list quotes yang menarik yang bisa
kutemukan dari buku Seraphina karangan Rachel Hart ini. Tidak banyak yang
kudapat. Oleh karena itu aku gabung dengan postingan reviewnya. Mari, langsung
kita simak. Mungkin ada yang kalian suka. :D
Dia biasanya memang lebih tenang daripada
yang lain, barangkali karena selalu sibuk. (hal. 69)
“Biarkan mereka yang mencari keadilan
bersikap adil.” (hal. 121)
“Kadang-kadang kebenaran sulit menembus
tembok tebal yang mengungkung benak kita. Kebohongan, jika diselubungi
kata-kata yang tepat, bisa disebarluaskan dengan mudah.” (hal. 283)
Satu kemungkinan di antara sejuta jauh
lebih baik daripada nol. (hal. 414)
“Orang-orang berbuat aneh jika ketakutan.
Aku tidak mempermasalahkannya.” (hal. 415)
Apa pun yang terjadi, sudah terjadi. Aku
telah berdamai dengan masa lalu dan dengan masa depan. Lakukanlah apa yang
menurutmu harus kau lakukan, dan jangan takut. (hal. 418)
“Anda mengabaikan pesan hanya karena tidak
menyukai si pembawa pesan.” (hal. 420)
Comments
Post a Comment