[Review] Sirkus Pohon by Andrea Hirata – Cerita tentang sirkus, pohon, dan kehidupan diantaranya

“Bangun pagi, let’s go!” – Ibu Bos


Judul: Sirkus Pohon
Pengarang: Andrea Hirata
Penyunting: Imam Risdiyanto
Perancang sampul: Febrian & Adit Hapsoro
Ilustrasi sampul: Arifah Insani & Larasati Apsari
Penerbit: Bentang
Terbit: Cetakan kedua - September, 2017
Tebal buku: 410 halaman
Format: Paperback
ISBN: 978-602-291-409-9

Ketika membawa buku ini ke kasir, aku sudah tidak ingat lagi kapan kali terakhir menikmati karya Pak Cik Andrea Hirata. Saat itupun hanya karya fenomenalnya yaitu tetralogi Laskar Pelangi yang sempat kucicipi. Meski tidak ingat mengenai waktu pastinya, rasa yang didapat saat membaca karya Andrea Hirata masih membekas. Karyanya penuh dengan kearifan lokal. Alur ceritanya sarat dengan humor sekaligus mampu membuat hati tercenung dan sempat mengharu.

Sirkus Pohon merupakan novel kesepuluh hasil karya beliau yang telah diterbitkan. Wangi khas buku yang baru dicetak menguar ketika aku membuka segel dan lembaran-lembaran Sirkus Pohon. Wangi ini semakin menggugah rasa untuk segera membaca dan menikmati dua kisah kehidupan plus percintaan dari dua pasang tokoh di dalamnya. Kisah tersebut dipaparkan bergantian dengan alur maju serta dilengkapi dengan deskripsi yang mengalir lancar sejak paragraf pertama. Awalnya kedua kisah tersebut tampak tidak saling berhubungan karena pasangan yang menjadi tokoh utamanya berbeda umur dan latar belakang. Namun akhirnya di halaman 46, kedua kisah tersebut mulai bersinggungan.

Pertama, ada cerita tentang Sobrinudin yang kemudian disepanjang buku lebih dikenal dengan panggilan Hob (ada, sih, diceritakan asal muasal mengapa dia dipanggil Hob, tetapi aku lupa, hehe). Hob membenci pohon Delima yang tumbuh di pekarangan rumahnya lantaran delima itu dianggap mistis dan menjadi penyebab Dinda (calon istrinya) menjadi linglung dan hilang akal menjelang hari pernikahan mereka. Padahal Hob sendiri adalah bujang lapuk dan pengangguran yang lumayan banyak menerima kemalangan di hidupnya akibat salah pergaulan. Tidak tanggung-tanggung, delima ini telah muncul bahkan di paragraf pertama.

Baiklah Kawan, kuceritakan kepadamu soal pertempuranku melawan pohon delima di pekarangan rumahku dan bagaimana akhirnya pohon itu membuatku kena sel, lalu wajib lapor setiap Senin di Polsek Belantik. (hal. 2)

Kedua, ada kisah tentang Tara yang mewarisi bakat seni lukis dari orangtuanya yang juga merupakan pemilik sirkus keliling di daerah Tanjong Lantai. Suatu pagi, Tara menemani ibunya ke Pengadilan Agama. Di tempat itulah, dia bertemu dengan Tegar (anak lelaki yang juga seumuran dengannya). Tegar saat itu berada di Kantor Pengadilan Agama guna mendampingi ibunya menghadiri sebuah “acara yang sangat penting” di sana. Ada yang tahu acara apakah yang dimaksud? Hm, yup, sidang perceraian. Kedua orangtua mereka sidang di hari yang sama.

Tegar tampil menolong Tara dari beberapa “preman cilik”. Pertemuan singkat mereka sangat membekas di hati satu sama lain bahkan hingga bertahun-tahun kemudian. Mereka saling mencari karena saat itu tidak sempat menanyakan nama ataupun sekolah. Tara mencari Tegar melalui lukisan-lukisannya. Sementara Tegar mengandalkan temannya yang ahli dalam “bidang penciuman” guna mencari jejak Tara.

Tara percaya akan pertemuan. Bahwa orang-orang saling bertemu karena suatu alasan. Bahwa pertemuanlah yang membentuk lingkaran-lingkaran nasib manusia.

Sejak bagian awal, aku telah menikmati buku ini dan dibuat tertawa padahal masih di halaman tujuh. Humor yang disajikan memang lebih banyak berkaitan dengan kehidupan orang Melayu. Sempat terlintas pertanyaan, apakah akan terus tertawa hingga membaca kalimat terakhirnya nanti? Dan jawabannya: iya-sebagian besar kita akan dibuat tertawa. Hal ini membuatku berpikir jika kata “sirkus” yang menjadi judul novel ini memiliki arti ganda. Arti pertama memang merujuk kepada seni pertunjukkan sirkus yang memang menjadi benang merah alur ceritanya. Sementara arti kedua lebih bersifat konotasi dan merujuk pada rasa novel ini sendiri yang menghibur sekaligus membuat takjub. Seolah-olah kita menyaksikan pergelaran sirkus kehidupan dari para tokoh di dalamnya.

Sirkus Pohon tidak hanya memberikan nuansa komedi, melainkan juga kehangatan cinta dan keluarga (meski dalam wujud yang tidak sempurna). Cinta yang saling menemukan seperti yang terjadi pada hidup Hob dan Tara. Cinta yang bahkan kehadirannya sebenarnya telah di depan mata, namun tidak terlihat atau terungkap hingga sekian lama.

Cinta itu milik seseorang yang sebelum berjumpa dengannya kuduga kebahagiaan berada di balik kaki langit dan harus kuarungi tujuh samudra untuk menggapainya. Padahal, dia ada di situ, duduk di bawah pohon delima itu dan tersenyum kepadaku. (hal. 14)

Aku pun merasa terenyuh saat membaca tentang Ayah Hob. Andrea Hirata sepertinya selalu menyisipi perihal tentang Ayah dalam novel-novelnya (sejauh yang sudah kubaca). Kekaguman akan sosok Ayah yang tidak lekang di waktu. Bagian ini mampu membuatku tercenung dan merasa haru. Ujung-ujungnya, jadi ingin menikmati novel Pak Cik yang berjudul Ayah itu.

Tuhan menciptakan tangan seperti tangan adanya, kaki seperti kaki adanya, untuk memudahkan manusia bekerja. Begitu pesan Ayah kepadaku. (hal. 37)

Berdasarkan catatan di Goodreads, aku selesai membaca novel ini di bulan Maret lalu. Sementara review ini baru hari ini siap kutuliskan (sekarang bulan Juli). Ada rentang jarak beberapa bulan yang mungkin dapat membuat review ini menjadi tidak terlalu detail atau mungkin ada hal-hal yang terlewatkan. Namun kesan “baik” saat dan setelah membaca buku ini sangat membekas sekaligus membuat rindu untuk membaca karya Pak Cik yang lain. Adakah novel Andrea Hirata yang kalian sukai? Silakan tuliskan di kolom komen, ya. Selamat membaca buku, teman.  

Rating: (4/5) really liked it

Comments

Popular posts from this blog

7 Alasan Memilih dan Membeli Buku Bacaan

[Review] The Silmarillion by J.R.R Tolkien – Sebuah riwayat yang panjang

[Review] Cewek Paling Badung di Sekolah by Enid Blyton – Asal mula Elizabeth dikirim ke Whyteleafe