[Review] Murder on the Orient Express by Agatha Christie – Kisah Poirot yang unik
Madame, orang yang paling ramah dan paling baik, tidak selalu paling pandai.” – Hercule Poirot
Judul
asli: Murder on the Orient Express
Judul
terjemahan: Pembunuhan di Orient Express
Series:
Hercule Poirot #10
Pengarang:
Agatha
Christie
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Terbit:
Cetakan kesembilan - Januari, 2014
Tebal
buku: 360 halaman
Format:
Paperback
Genre:
Mystery
ISBN:
978-979-22-2980-6
Hercule Poirot, seorang detektif asal
Belgia berkepala bulat telur yang sangat membanggakan kumis serta sel kelabu
otaknya ini beraksi kembali. Aku telah selesai membaca kecermatannya dalam
memecahkan kasus pembunuhan di sebuah kereta api. Ini adalah buku karangan
Agatha Christie kedua yang kubaca sejak Desember tahun lalu. Motivasi utamanya
untuk melengkapi poin pada Reading Challenge BBI yang kuikuti tahun ini. Selain itu, aku juga berniat untuk
hemat belanja buku dan membabat habis timbunan, haha (semoga bisa terwujud).
Apapun alasannya, tetap saja aku jatuh cinta dengan kisah detektif klasik satu
ini. Tidak sulit untuk ikut penasaran atau larut dengan apa yang Agatha tulis.
Poirot sedang dalam perjalanannya menuju
Inggris menggunakan kereta Orient Express. Sebenarnya Poirot ingin singgah
beberapa hari di Istanbul, namun ada panggilan yang memintanya agar segera
kembali ke London. Dia pun menumpang kereta Orient Express. Tidak seperti
biasanya, kereta ini hampir penuh. Gerbongnya berisi banyak orang dari beragam
bangsa. Total ada sekitar 15-18 orang. Ini tidak biasa mengingat bukan sedang
musim liburan.
Lalu suatu kejadian membuat geger kereta
tersebut. Pertama, perjalanan mereka terhambat salju ketika melintasi
pegunungan Balkan. Ini menyebabkan kereta berhenti total. Kedua, dan ini yang
paling penting, telah terjadi pembunuhan di kereta tersebut. Salah seorang
penumpang bernama Rachett ditemukan telah tewas ditikam berkali-kali di
kamarnya. Luka tikaman itu unik seolah bukan hanya satu orang yang
melakukannya. Tentu saja, karena terhalang salju, pembunuhnya pasti salah satu
penumpang di kereta tersebut. Namun siapa? Poirot didesak oleh Monsieur Buoc
(direktur perusahaan kereta api) untuk segera memecahkan masalah
tersebut sebelum polisi Negara Yugoslavia datang. Dapatkah Poirot melakukannya?
Bagi penggemar Agatha ataupun Poirot,
pasti sudah bisa menebak ending-nya. Namun (lagi-lagi) proses menuju ending itu
yang lebih menarik. Satu hal yang kusukai, Poirot tidak hanya tertarik
memecahkan masalah siapa yang membunuh, dia suka mempelajari psikologi korban maupun
pelaku. Motivasi si pelaku itu penting. Itulah hal yang membuatku mengagumi
Poirot dan menyukai setiap kisahnya.
“Coba
lihat, Dokter, saya bukanlah orang yang begitu saja percaya pada prosedur orang
yang sudah ahli dalam memecahkan misteri seperti ini. Saya justru ingin mencari
latar belakang kejiwaannya, bukan sekadar sidik jari atau abu rokok. …” (hal.
95)
Masih ingat Aleppo? Satu hal yang
mencuri perhatianku adalah kisah ini dimulai dari Aleppo, Siria. Seperti yang
kita ketahui, sempat viral foto seorang anak kecil dengan wajah datar dan muka
penuh debu sedang duduk di ambulans yang beredar pada 2016 lalu. Anak kecil itu
adalah korban pemboman di daerah Aleppo. Wajah anak itu masih tergambar di
ingatanku. Fotonya yang tersebar luas terutama di internet pasti telah
membangkitkan rasa prihatin di diri banyak orang. Anak kecil – korban pemboman
– wajah tanpa ekspresi (tidak pula menangis). Siapa yang tidak tergugah? Dan
ketika membaca buku ini, mau tidak mau, aku kembali teringat dengan hal
tersebut. Kebetulan? Entahlah.
Itu salah satu poin yang teringat di
kepalaku. Ada dua poin lainnya. Salah satunya adalah bahwa buku ini sedikit
membahas kepribadian beragam bangsa (stereotype). Seperti yang kutuliskan sebelumnya,
Poirot menaiki Orient Express yang diisi oleh banyak penumpang yang berasal
dari banyak negara diantaranya Inggris, Amerika, Swedia, Hungaria, Jerman, Italia,
dst. Sembari membaca kisahnya, aku jadi turut mengetahui beberapa ciri khas
orang-orang yang berasal dari negara-negara tersebut. Bukan ciri yang spesifik,
namun lebih generalisasi sepertinya. Rasanya takjub saja, Agatha yang hidup
dengan keterbatasan teknologi pada masa itu dapat menuliskannya dengan menarik.
Ya, mungkin kembali ke latar belakang hidupnya yang sering mengikuti suaminya
bertugas. Hal tersebut membuat buku ini makin enak
dinikmati.
“Tidak
begitu sulit. Dia orang Inggris, dan sebagaimana dikatakannya sendiri, ‘semua
persoalan yang dihadapinya akan disimpannya untuk diri sendiri.’ ….” (hal. 83)
Tangan
orang Italia itu buru-buru memberi isyarat meminta maaf. “Beribu maaf.” (hal.
195)
Poin lainnya yang menarik perhatianku
berkaitan dengan buku. Para penumpang di kereta ini memiliki alibi yang nyaris
sempurna. Seolah satu sama lain mendukung pernyataan yang lainnya padahal
mereka diinterogasi secara bergiliran dan personal. Ketika mereka diminta Poirot
mengatakan apa yang mereka lakukan pada malam itu, banyak yang menjawab mereka
membaca sebelum pergi tidur atau mengisi waktu dengan membaca sebelum mereka
bisa tertidur. Ah, mungkinkah itu alasan negara asal mereka menjadi negara
maju? Penduduknya menyukai membaca yang dapat menambah pengetahuan mereka. Memang
tidak disebutkan secara spesifik apa yang mereka baca, namun adanya perulangan kata “membaca” yang
dikatakan penumpang Orient Express seperti memberi sugesti khusus. Seolah
berupa pesan agar budaya “membaca” disarankan untuk dilakukan. Suatu kebiasaan
yang baik, pasti, ya. :D
“Itu
gampang sekali. Saya kembali ke kamar saya, membaca sebentar, lalu turun di
peron Belgrado. …” (hal. 120)
“Sekarang
ini, Sir, saya sedang membaca Love’s Captive karya Mrs. Arabella Richardson.”
(hal. 128)
“Ya.
dia sedang membaca buku. Lalu saya cepat-cepat minta maaf dan menghilang.”
(hal. 146)
“…
saya membaca sampai kira-kira pukul sebelas, dan sesudah itu mematikan lampu.”
(hal. 158)
Secara garis besar, menurutku kisah ini
lumayan unik. Ending yang dipilih
bisa ditebak, namun unik juga (tidak seperti kisah Poirot yang telah kubaca
sebelumnya). Aku masih menyukai gaya Poirot memecahkan kasus. Pembaca diajak
menebak. Tidak ada fakta yang disembunyikan. Namun aku belum bisa menuntaskan
teka-tekinya seperti yang Agatha pikirkan, haha. Ada beberapa poin menarik
kutemukan di dalam buku ini. Dan poin-poin tersebut berkaitan dengan
keanekaragaman corak bangsa dan kepribadian. Meski demikian, tidak seperti
kisah-kisah lainnya, tidak banyak kutipan menarik yang kutemukan. Entah karena
terlalu asik membaca kisahnya atau hal lainnya. Haha, intinya aku kembali
ketagihan membaca kisah Poirot setelah sempat vakum beberapa bulan. Coba saja.
Kurasa kamu juga akan suka. Kalau tidak salah, Murder on the Orient Express juga akan tayang film adaptasinya. Anyway, selamat membaca buku, teman. :D
Rating:
(5/5) it was amazing
Submitted
to:
Comments
Post a Comment